Sunday, September 13, 2015

MARKETING ALA TUHAN

Di negeri gemah ripah loh jinawi ini, apapun bisa jadi topik isu sekaligus pengalihan isu.  Cakupannya bisa sangat luas, mulai dari kondisi rumah tangga seseorang, kebijakan pemerintah sampai urusan dengan Tuhan. 

Rasanya belum lekang dari ingatan tentang kontraversi pencalonan Jokowi jadi presiden dengan segala bumbu sedapnya, kini kita dilanda isu bencana robohnya crane tower di rumah Allah. Bencana yang merenggut ratusan nyawa itu disikapi beragam oleh manusia (Indonesia). Sikap yang ditunjukkan mulai dari pasrah, berdoa, sampai mengkaitkannya dengan kunjungan kenegaraan Jokowi ke Saudi Arabia, bahkan mengkaitkannya dengan konsernya band kafir, Bon Jovi di Jakarta. 

Sekedar mengkaitkan? Tidak, beberapa di antaranya dengan semangat mem-posting foto bencana tersebut dalam komposisi yang amat telanjang, tanpa sensor, menampakkan rupa yang sedemikian membuat miris siapapun yang melihatnya. Genangan darah memang bukan barang yang elok dipertontonkan ke khalayak umum. Genangan darah, bahkan darah binatang pun, identik dengan kekerasan, karena terkait dengan kelangsungan hayat makhluk bernyawa. 

Tentang bencana itu, mungkin sebagian orang bertanya, bahkan protes kepada Tuhan, kenapa hal itu terjadi di sana, bukan di Yerusalem, tempat musuh Islam berada, bukan di Amerika, sarang zionis menancapkan kuasa, atau ndak usah jauh-jauh, bukan di Sarkem, lokalisasi tersohor di Yogya? 

Kenapa Tuhan begitu tega kepada umat Islam sedemikian rupa? Jangan-jangan kita menyembah Tuhan yang salah, yang kuasaNya kalah dengan Tuhan yang lain? Lha iya, lha wong jangankan Tuhan, rasulnya yang agung saja tak pernah boleh digambar. Jangan-jangan selama ini kami dibodoh-bodohi suami Siti Khatidjah itu.... 

Masih yakin dengan kebenaran Islam? Tengok tesis berikut ini. Bukankah (katanya) Tuhan Maha Pemurah, yang berjanji akan mengabulkan doa hambaNya? Lalu kenapa kehidupan warga kampung saya di Wonogiri sana, yang notabene 100% beragama Islam, dari tahun ke tahun begitu-begitu saja? Kenapa Tuhan malah memperkaya kaum kafir yang sepanjang hidupnya bahkan menyapa Tuhan pun tidak? Bukankah kemiskinan dekat dengan kekufuran? Bukankah kemiskinan lah yang membuat mereka harus menggantungkan kesabarannya akan sebuah mushola dari para donatur? 

Ah, jangan-jangan kita terbuai marketing ala Tuhan. Yang begitu membius jiwa dengan janji surga, bukan nikmat dunia. Jangan-jangan kita meyakini sesuatu yang salah. Jangan-jangan suatu saat nanti kita hanya ketemu dengan sosok manusia berpostur tambun, duduk di singgasana kekuasaan, berdayang-dayang bidarari, dan dengan enteng menjawab "wallahu 'alam bisawab" ketika kita protes kepadanya. 

Selamat merenung. 

Jakarta, 13 September 2015

No comments: