Adalah sebuah pagi beberapa jam sebelum kami sekeluarga
kembali ke Bandung paska Lebaran kemarin. Mbah Modin memanggil bapak dan saya
ke ruang tengah rumah kami. Saya segera duduk bersila di depannya. Pria yang
dahulu gemar mencabut gigi dan mencukur rambut saya itu masih tampak sehat di
usia senjanya.
“Gini kang Taman, mas Rianto, ada yang mau saya
omongkan,” ujarnya membuka suasana. Saya sama sekali tak bisa menebak arah
pembicaraannya. Bapak juga hanya diam di sampingnya.
“Kang Taman dan mas Rianto kan tahu, bandoso (keranda mayat) yang teronggok
di pinggir sungai itu sudah nggak layak pakai lagi.”
Saya mulai bisa menduga-duga arah pembicaraannya. Ini
bukan kali pertama saya berurusan dengan sarana pemakaman.
“Nah, sekarang aku pasrah sama mas Rianto. Saya percaya
mas Rianto bisa mengupayakan pengadaan bandoso
buat warga sini.”
Saya terdiam. Setahun lalu saya memang pernah nguda rasa ke bapak, menyampaikan niat
bahwa jika ada rejeki saya mau membelikan keranda mayat dan alat pemandian mayat
buat warga kampung saya. Bapak menyambut baik niat saya tersebut. Niat itu tak
datang tiba-tiba. Saya prihatin dengan kondisi keranda mayat yang sudah usang
dan mulai dilanda karat. Kondisi tersebut membuat sosoknya kian menakutkan bagi
siapapun yang lewat di dekatnya. Ditambah lagi sekarang barang itu ditempatkan
di pinggir sungai menuju kuburan, di bawah pohon durian. Sosoknya kian
tersingkir saja, padahal fungsinya amat vital. Siapapun yang menemui ajal di
seantero kampung ini akan menaikinya.
Niat itu memang masih sebatas niat hingga saat itu.
Kedatangan mbah Modin pagi itu pun tak segera saya sanggupi. Kepadanya saya
hanya bisa berjanji dalam bentuk usaha.
“Nggih, Mbah. Insya Allah saya usahakan. Siapa tahu
Gusti Allah ngasih jalan ke saya.”
“Pokoke saya
percaya sama mas Anto. Lha wong mbangun mushola Puleroto aja bisa, masak
mbeliin bandoso ndak bisa.”
Saya nyaris tergelak. Tentang pembangunan mushola
Puleroto sudah berkali-kali saya tegaskan ke warga sini bahwa saya hanyalah
pencari dana. Uang yang saya gelontorkan sebesar lebih dari 50 juta berasal
dari para pencari surge yang mempercayakan amalnya lewat tangan saya. Apa daya,
nama saya kadung tenar gara-gara aksi donasi itu.
“Njih, Mbah. Saya minta doanya, semoga niat baik ini
lekas terlaksana,” jawab saya dengan nada lirih. Sejujurnya saya belum punya
bayangan bakal mencari dana lewat sarana apa.
Selarik komen dari status Facebook yang saya posting
beberapa hari setelah saya sampai di Bandung menyegarkan otak saya. Status itu
tentang apalagi jika bukan tentang keranda mayat.
Kawan yang sedang menempuh pendidikan S2 di negeri Ratu
Elizabeth itu bertanya, “Ada proyek baru ya, Mas?”
Saya tergelak kepadanya. Deretan percakapan lewat WA
berikutnya tak terlalu bertele-tele. Sebentuk komitmen pendanaan telah saya
dapat. Jreng…begitulah ketika tangan Tuhan sedang bekerja, yang terjadi maka
terjadilah, tanpa bisa dicegah.
Perlu waktu hampir 2 bulan untuk mewujudkan kendaraan
yang mungkin paling dibenci oleh umat manusia ini. Saya sendiri sempat was-was
dengan molornya waktu penyelesaian keranda mayat itu.
Hingga akhirnya sore ini saya berhasil mendapatkan
foto-fotonya, saya bernafas lega. Ada keharuan dalam benak ketika memandangi
raut riang wajah mbah Modin dan bapak di depan keranda itu.
Dari ibu saya mendapat cerita bahwa beliau sempat
menggoda mbah Modin dengan ucapan,”Tu, Mbah, pesenanmu sudah jadi. Mbah Modin
mau nyobain?”
Mbah Modin hanya menjawab singkat, “Nggak masalah, Yu.
Lagian bojoku yo wis mati.”
Mendengar cerita itu saya tercenung. Pria yang setiap
sore mengajar ngaji di mushola depan rumah tampaknya sudah amat siap dengan
kematiannya.
Penampakan keranda baru |
Aktifitas pengajian anak-anak tiap sore di mushola kami |
No comments:
Post a Comment