Taman Santoso bersama anak ketiganya, Wahyu Triwibowo. Foto diambil sekitar tahun 1990. |
Awal dekade 60, malaria
mewabah di negeri ini. Penyakit yang disebabkan oleh parasit itu menular
melalui gigitan nyamuk Anopheles. Indonesia memeranginya dengan pembentukan
gugus tugas bernama Komando Pemberantasan Malaria (KOPEM). Pembentukan gugus
tugas tersebut dilakukan sendiri oleh Presiden Soekarno pada tanggal 12
November 1959. Tanggal ini kelak dijadikan dan diperingati sebagai Hari
Kesehatan Nasional.
Kopem merekrut tenaga
penyemprot dari para pemuda desa. Lembaga itu membekali anggotanya dengan
teknik penyemprotan dan penanganan materi beracun. Seperti kita tahu, pembasmi
yang dipakai saat itu adalah dichlorodiphenyltrichloroethane
(DDT). Senyawa kimia
berbentuk serbuk putih itu amat beracun. Wajar jika kontak dengan manusia amat
diminimalisasi.
Salah satu dari
pemuda di pancuran itu bernama Taman. Pemuda berusia 22 tahun itu tak langsung
menuju barak penginapan usai mencuci tangkinya. Ia kembali memanggul peralatan
kerjanya ke arah jalan. Di sana telah menunggu seorang pria paruh baya.
“Besok jatahku
nyemprot di RT. I, Pak. Bawa alat ini ke sana, nggih.”
“Inggih,
Pak.”
Pria itu segera
balik kanan, kembali ke desanya. Bagi orang desa, mendapat kepercayaan dari
pria berseragam mirip tentara adalah sebuah kehormatan.
Belikurip adalah
desa yang berada di sebelah timur kota Baturetno. Jaraknya sejauh 3 kilometer.
Di situlah Taman mendapat tugas menyemprot setiap rumah dengan DDT. Jarak antar
rumah masih realtif jauh dan harus ditempuh dengan jalan kaki. Beban di
punggung bisa mencapai 20 kilogram.
Kopem tidak
menyediakan ransum makan siang. Konsekuensinya adalah para anggota harus
mencari makan siang sendiri. Di sisi lain, hampir tidak ada warung makan di
pedesaan. Sebagian anggota ada yang membawa sisa jatah sarapannya. Sebagian
yang lain mengandalkan belas kasihan warga desa.
Demi mendapati hal
itu, Taman mendapatkan ide. Sembari menitipkan tangki semprot, anak bungsu dari
3 saudara itu berpesan,”Tolong besok sekalian direbuskan air untuk minum ya,
Pak.” Maka tak hanya air minum yang ia dapat, melainkan makan siang lengkap
dengan lauknya. Warga desa menerima anggota Kopem sebagai saudara yang
menyelamatkan hidup mereka dari sergapan nyamuk malaria. Oleh karena itu mereka
sangat hormat kepadanya.
Genap setahun Taman
bertugas di desa itu. Karirnya nyaris kembali ke ladang saat nasib baik
menuntunnya ke profesi lain. Usai malaria berhasil dijinakkan, pemerintah
mengedukasi masyarakat tentang pola hidup sehat. Bekas anggota Kopem direkrut
menjadi Juru Malaria Desa (JMD). Dan Taman menjadi salah satunya.
Bekerja di bagian
penyuluhan membuatnya sempat “dimusuhi” oknum kementerian kesehatan. Waktu itu
sudah ada semacam persaingan tentang bagaimana cara mengatasi wabah. Apakah
dengan cara preventif atau kuratif. Pihak kementerian menganggap bahwa cara
kuratif lebih baik daripada cara preventif.
“Aku ini bodoh di urusan sekolah. Sadar akan
hal itu, aku harus rajin di pekerjaan. Segala hal yang bisa kulakukan, utamanya
yang menyangkut kebersihan kantor, aku jalani dengan sukarela. Inilah modalku
agar disayang atasan,” ujarnya suatu hari.
Usahanya tak sia-sia.
Bermodal ketekunan mengurus kantor, pria lulusan Sekolah Rakyat itu mendapat
kesempatan mencicipi pelatihan di Sekolah Penjenang Kesehatan (SPK). Bekal
itulah yang menguatkan modalnya untuk diangkat sebagai Pengawai Negeri Sipil di
Puskesmas Tirtomoyo tahun 1967.
Telah menyandang gelar
sebagai PNS tak membuat Taman berubah sikap. Ia tetap rajin membereskan kantor.
Menyapu halaman hingga menata taman ia jalani dengan senang hati. Hal itu saya
saksikan sendiri saat sudah duduk di bangku SMP. Saat senggang, saya suka
mampir ke kantornya. Dan pria itu lebih sering saya dapati sedang memegang alat
kebersihan, alih-alih alat tulis kantor. Tak tersirat sedikit pun rasa malu
atau terenggut gengsinya dengan semua itu.
Hingga pensiun pada tahun
2002, pria yang mendapat tambahan nama “Santoso” saat menikah itu tak mengubah
kebiasaannya. Latar belakang pendidikannya yang hanya setingkat Sekolah Dasar,
membuatnya tak bisa mengejar karir. Golonganya mentok di I.d (Juru Tingkat I). Meski
begitu, ia tak pernah merasa minder. Pria beranak 6 itu memilih peran lain yang
sesuai dengan renjananya.
Sempat ditugaskan di
Puskesmas Pembantu Genengharjo, Santoso tetaplah perawat kerapihan kantor. Ia
memilih membawa pulang berkas resep yang harus direkap dan menggunakan waktunya
untuk menata halaman kantor. Di rumah, saya dan adik ketigalah yang melakukan
pekerjaan rekap tersebut. “Biar kalian belajar jadi pegawai kayak bapak,”
katanya menyemangati kami.
“Matur nuwun sudah
diceritain sejarah ini, Pak,” ujar saya di sembari melangkah ke ruang rapat.
Pembicaraan selama hampir sejam melalui telepon itu menorehkan kesan yang kuat
di batin saya. Bahwa menjadi penjaga kerapihan kantor itu tak menurunkan
martabat siapa pun.
2 comments:
kok iso nge pas i asmane iku......cadas.
Hehe...lha duka, Mas. Satu lagi, di kecamatan kami ada desa bernama Taman juga.
Post a Comment