Thursday, June 11, 2020

Penata Taman bernama Taman

Taman Santoso bersama anak ketiganya, Wahyu Triwibowo. Foto diambil sekitar tahun 1990.
Sekumpulan pria itu menutup hari di sebuah pancuran air. Peluh dan letih tak membuat mereka bisa segera istirahat. Tangki semprot itu harus segera dibersihkan. Residu bahan beracun tidak boleh mengendap di dalamnya. Benda seberat 5 kilogram itu esok hari akan dipakai lagi.
Awal dekade 60, malaria mewabah di negeri ini. Penyakit yang disebabkan oleh parasit itu menular melalui gigitan nyamuk Anopheles. Indonesia memeranginya dengan pembentukan gugus tugas bernama Komando Pemberantasan Malaria (KOPEM). Pembentukan gugus tugas tersebut dilakukan sendiri oleh Presiden Soekarno pada tanggal 12 November 1959. Tanggal ini kelak dijadikan dan diperingati sebagai Hari Kesehatan Nasional.
Kopem merekrut tenaga penyemprot dari para pemuda desa. Lembaga itu membekali anggotanya dengan teknik penyemprotan dan penanganan materi beracun. Seperti kita tahu, pembasmi yang dipakai saat itu adalah dichlorodiphenyltrichloroethane (DDT). Senyawa kimia berbentuk serbuk putih itu amat beracun. Wajar jika kontak dengan manusia amat diminimalisasi.
Salah satu dari pemuda di pancuran itu bernama Taman. Pemuda berusia 22 tahun itu tak langsung menuju barak penginapan usai mencuci tangkinya. Ia kembali memanggul peralatan kerjanya ke arah jalan. Di sana telah menunggu seorang pria paruh baya.
“Besok jatahku nyemprot di RT. I, Pak. Bawa alat ini ke sana, nggih.”
Inggih, Pak.”
Pria itu segera balik kanan, kembali ke desanya. Bagi orang desa, mendapat kepercayaan dari pria berseragam mirip tentara adalah sebuah kehormatan.
Belikurip adalah desa yang berada di sebelah timur kota Baturetno. Jaraknya sejauh 3 kilometer. Di situlah Taman mendapat tugas menyemprot setiap rumah dengan DDT. Jarak antar rumah masih realtif jauh dan harus ditempuh dengan jalan kaki. Beban di punggung bisa mencapai 20 kilogram.
Kopem tidak menyediakan ransum makan siang. Konsekuensinya adalah para anggota harus mencari makan siang sendiri. Di sisi lain, hampir tidak ada warung makan di pedesaan. Sebagian anggota ada yang membawa sisa jatah sarapannya. Sebagian yang lain mengandalkan belas kasihan warga desa.
Demi mendapati hal itu, Taman mendapatkan ide. Sembari menitipkan tangki semprot, anak bungsu dari 3 saudara itu berpesan,”Tolong besok sekalian direbuskan air untuk minum ya, Pak.” Maka tak hanya air minum yang ia dapat, melainkan makan siang lengkap dengan lauknya. Warga desa menerima anggota Kopem sebagai saudara yang menyelamatkan hidup mereka dari sergapan nyamuk malaria. Oleh karena itu mereka sangat hormat kepadanya.
Genap setahun Taman bertugas di desa itu. Karirnya nyaris kembali ke ladang saat nasib baik menuntunnya ke profesi lain. Usai malaria berhasil dijinakkan, pemerintah mengedukasi masyarakat tentang pola hidup sehat. Bekas anggota Kopem direkrut menjadi Juru Malaria Desa (JMD). Dan Taman menjadi salah satunya.
Bekerja di bagian penyuluhan membuatnya sempat “dimusuhi” oknum kementerian kesehatan. Waktu itu sudah ada semacam persaingan tentang bagaimana cara mengatasi wabah. Apakah dengan cara preventif atau kuratif. Pihak kementerian menganggap bahwa cara kuratif lebih baik daripada cara preventif. 
 “Aku ini bodoh di urusan sekolah. Sadar akan hal itu, aku harus rajin di pekerjaan. Segala hal yang bisa kulakukan, utamanya yang menyangkut kebersihan kantor, aku jalani dengan sukarela. Inilah modalku agar disayang atasan,” ujarnya suatu hari.
Usahanya tak sia-sia. Bermodal ketekunan mengurus kantor, pria lulusan Sekolah Rakyat itu mendapat kesempatan mencicipi pelatihan di Sekolah Penjenang Kesehatan (SPK). Bekal itulah yang menguatkan modalnya untuk diangkat sebagai Pengawai Negeri Sipil di Puskesmas Tirtomoyo tahun 1967.
Telah menyandang gelar sebagai PNS tak membuat Taman berubah sikap. Ia tetap rajin membereskan kantor. Menyapu halaman hingga menata taman ia jalani dengan senang hati. Hal itu saya saksikan sendiri saat sudah duduk di bangku SMP. Saat senggang, saya suka mampir ke kantornya. Dan pria itu lebih sering saya dapati sedang memegang alat kebersihan, alih-alih alat tulis kantor. Tak tersirat sedikit pun rasa malu atau terenggut gengsinya dengan semua itu.
Hingga pensiun pada tahun 2002, pria yang mendapat tambahan nama “Santoso” saat menikah itu tak mengubah kebiasaannya. Latar belakang pendidikannya yang hanya setingkat Sekolah Dasar, membuatnya tak bisa mengejar karir. Golonganya mentok di I.d (Juru Tingkat I). Meski begitu, ia tak pernah merasa minder. Pria beranak 6 itu memilih peran lain yang sesuai dengan renjananya.
Sempat ditugaskan di Puskesmas Pembantu Genengharjo, Santoso tetaplah perawat kerapihan kantor. Ia memilih membawa pulang berkas resep yang harus direkap dan menggunakan waktunya untuk menata halaman kantor. Di rumah, saya dan adik ketigalah yang melakukan pekerjaan rekap tersebut. “Biar kalian belajar jadi pegawai kayak bapak,” katanya menyemangati kami.
“Matur nuwun sudah diceritain sejarah ini, Pak,” ujar saya di sembari melangkah ke ruang rapat. Pembicaraan selama hampir sejam melalui telepon itu menorehkan kesan yang kuat di batin saya. Bahwa menjadi penjaga kerapihan kantor itu tak menurunkan martabat siapa pun.

2 comments:

arifkancil said...

kok iso nge pas i asmane iku......cadas.

Masla said...

Hehe...lha duka, Mas. Satu lagi, di kecamatan kami ada desa bernama Taman juga.