Monday, August 3, 2020

Hantu Tagog Apu

Pikiran saya diselimuti hal buruk, menyerah. Yang kemudian akan saya lakukan adalah menghubungi anak sulung. Kepadanya akan saya minta untuk menjemput di lokasi terkini. Tanjakan ini seolah tak ada ujungnya. Perut saya mual, dada sebelah kiri tak nyaman, dan paha mulai menunjukkan gejala kram.

Sebuah kedai mie ayam menjadi tempat pemberhentian selanjutnya. Sembari menunggu pesanan tiba, saya mengunyah pisang yang saya beli di minimarket sebelumnya. Berharap mendapat suntikan tenaga instan. Begitu pesanan tiba, saya pun bergegas menyantapnya. Sajian ini harusnya menjadi menu yang menggoyang lidah. Sayang, perut tak mau menerimanya. Hanya separuh porsi yang berhasil saya lahap.

Matahari makin mendekati cakrawala. Pertanda sebentar lagi gelap akan menyapa. Dengan ketetapan hati, sepeda itu saya kayuh kembali. Meniti tanjakan yang belum ketahuan akhirnya.

Gejala kram mulai terasa kembali. Bahkan makin menguat. Saat yang sama, saya bersendawa puluhan kali. Angin yang terjebak dalam lambung mulai menemukan jalan keluarnya. Rasa mual berangsur hilang. Seiring dengan itu, mental saya kembali menebal. Sisa perjalanan ini akan tetap saya tempuh dengan mengayuh.

Berangkat dari rumah pukul 6.45 WIB, saya memulai kayuhan dengan santai. Matahari sudah meninggi. Sepanjang jalur yang saya lalui, dari rumah hingga kawasan Kota Baru Parahyangan, ribuan pesepeda menjejali jalan. Keramaian sirna saat saya mulai menapaki jalan raya Purwakarta. Ya, tak banyak yang bersepeda rute jauh seperti saya. Kebanyakan dari mereka memilih rute pendek-menengah sejauh 30 kilometer.

Sebuah tanjakan pendek yang bermula dari pasar Tagog saya lalui dengan mudah. Energi masih melimpah, pikiran pun dipenuhi rasa riang. Melakukan perjalanan diiringi ijin orang rumah itu amat melapangkan batin. Apalagi setelah itu saya disuguhi turunan panjang. Butuh waktu puluhan menit untuk menuruninya. Jalur sepanjang 9 kilometer bernama Tagog Apu itu benar-benar memanjakan kaki. Tapi tunggu dulu, di sesi pulang, turunan ini akan berbalik menjadi tanjakan. Ah, ngapain dipikirin, batin saya.

Ujung turunan itu adalah tanjakan. Saya berhenti di sebuah pangkalan truk. Bekal dari rumah mulai saya santap. Sangu itu berupa sekotak buah dan air mineral. Saya memang membiasakan diri tidak mengisi perut dengan sarapan sebelum beraktivitas. Kebiasaan ini mulai saya jalani sejak November tahun lalu. Lapar? Tidak juga. Lemas? Tidak. Buktinya saya mulai sarapan di kilometer 36 dari rumah. Tubuh kita masih menyimpan cadangan energi makan malam yang belum dipakai, kan?

Sarapan di pinggir jalan Sumurbandung.

Serombongan pesepeda dengan arah yang sama tampak melintas. Mereka melaju cepat meniti tanjakan. Sepedanya berjenis mountain bike dan tanpa bawaan tas pannier seperti saya. Usianya pun tampak masih muda. Di samping itu, saya bukan penganut aliran sepeda ngebut. Santuy saja. Tak ada yang harus dikejar.

Setelah dirasa cukup, saya segera melanjutkan perjalanan. Tanjakannya ternyata panjang dan berkelok-kelok. Aspalnya juga mulai mengelupas di sana-sini. Kondisi ini membuat kayuhan makin berat. Untunglah terik matahari belum memanggang bumi.

Dari sudut ini, jalan tol Purbaleunyi tampak membentan di kejauhan.

Di kilometer 50 saya kembali berhenti. Sebuah kedai kelapa muda menjadi tempat persinggahan. Lokasinya enak karena teduh. Atapnya adalah tol Purbaleunyi. Buah potong saya habiskan di sini. Waktu sudah menunjukkan pukul 10 tepat. Sembari beristirahat, saya membuka map digital. Jarak yang tersisa masih 30 kilometer lagi. Meski relatif jauh, sisa jarak itu didominasi oleh turunan. Tak ada yang perlu dikawatirkan.

Kolong tol Purbaleunyi ini menjadi lokasi usaha beberapa penduduk sekitar. 

Pukul 11.30 WIB saya memasuki kawasan Waduk Jatiluhur. Diawali sebuah turunan, bendungan yang dibangun oleh pemerintahah Soekarno ini ternyata mempunyai trek yang menanjak. Tak hanya satu, bahkan dua. Meski pendek, gradiennya lumayan tinggi. Di sisi lain, cuaca sedang panas-panasnya. Menjelang loket masuk, saya bahkan harus berhenti sejenak untuk mengatur nafas.

Akhirnya saya tiba di pinggir perigi itu. Setelah berfoto di penanda tempat, saya segera menuju ke warung terdekat. Soal makan, saya tak terlalu pemilih. Yang penting tempatnya bersih, lega untuk rebahan, dan menyajikan pemandangan yang baik. Pilihan jatuh pada warung makan yang terletak di kiri jalan. Tempatnya berada di ketinggian, sehingga bisa memandang bendungan dengan leluasa. Seporsi ayam bakar saya santap hingga tandas. Sambalnya pedas menggoyang lidah. Saya terpaksa melupakan pantangan makan pedas saat bersepeda. Nanti sajalah mikirnya, batin saya.

Spot foto favorit di Waduk Jatiluhur. Destinasi wisata ini sempat ditutup saat pandemi Covid-19 mulai merebak. Kini sudah dibuka kembali dengan penerapan protokol kesehatan.

Setelah menjamak salat dan beristirahat secukupnya, saya bersiap pulang. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah dua siang. Barang bawaan saya atur kembali. Kemasan air minum saya isi ulang.

Selain tujuan wisata, Waduk Jatiluhur adalah ladang ikan. Penduduk bebas memanen hasilnya.

Di bawah terik yang memanggang, saya memulai kayuhan pulang. Suguhan pertama adalah tanjakan lumayan panjang hingga loket masuk. Sebelum bertemu kembali dengan jalan raya Purwakarta, saya belok kanan. Rasanya tak afdal jika tidak mampir ke KPP Pratama Purwakarta. Kantor yang terletak di jalan Ciganea itu baru saja direnovasi. Tampilannya lebih segar dan modern. Setelah berfoto di halamannya, saya segera pamit pada penjaganya.

KPP Pratama Purwakarta. Bangunannya habis direnovasi sehingga membuat penampilannya segar dan modern.

Baru saja menyeberang jalan raya Purwakarta, seorang pesepeda paruh baya meneriaki saya. Dari pada bersahut-sahutan di pinggir jalan, saya menuju ke arahnya.

“Masnya rombongan dari Bekasi?” tanya dengan logat Jawa.

“Bukan. Pak. Saya dari Bandung. Ini mau pulang. Kenapa, Pak?”

“Ini saya nunggu rombongan dari Bekasi. Tadi kepisah. Saya telpon nggak ada yang ngangkat.”

“Bapak sendiri dari mana?”

“Dari Purworejo, Mas...”

“Lho, nggak bawa tas?”

Sepeda touring yang ia pakai tampak tak digayuti bawaan khas pengelana. Hanya ada tas stang kecil dan alas duduk di boncengannya. Bukan penampilan seorang penjelajah.

Bertemu dengan pak Heru. Beliau bersepeda sendirian dari Purworejo, Jawa Tengah.

“Ada, saya titip di rumah temen. Saya nyampe sini kemarin..”

Woalah...

Tak berapa lama sebuah sepeda motor berhenti di dekat kami. Pengendaranya membonceng seorang anak muda. Sembari dibonceng, dia juga memangku sepedanya. Mukanya meringis menahan sesuatu.

“Kenapa?” tanya pria paruh baya yang bernama Heru itu.

“Kram, Pak. Nggak kuat nggowes lagi.”

Kram kaki memang menjadi momok bagi pesepeda. Kerutan pada jaringan otot itu menyakitkan penderitanya. Penyebabnya adalah kekurangan cairan tubuh atau otot terlalu diforsir.

Tiga pesepeda bergabung lagi dengan kami. Rupanya rombongan inilah yang ditunggu pak Heru. Saya segera pamit pada mereka. Di depan, tanjakan Ciganea sudah menanti.

Pak Heru sibuk menghubungi teman seperjalannya. Saya menungguinya hinga yang ditunggu tiba. Selalu ada kesempatan untuk menolong sesama sat di perjalana.

Saya baru mengayuh beberapa kilometer ketika gejala kram mulai terasa. Tak hanya di satu paha, tapi di keduanya. Dalam kondisi seperti ini saya cepat menganalisis apa penyebabnya. Saya merasa cukup minum. Artinya bukan disebabkan oleh kekurangan cairan tubuh. Maka tinggal penyebab kedua, yakni kondisi otot yang terlalu dipaksa. Jalan satu-satunya adalah menurunkan gigi. Keputusan ini menyebabkan laju kayuhan memelan. Apa daya, ini konsekuensi logis. Atau serangan kram akan memperburuk keadaaan.

Tanjakan Ciganea ini panjangnya sekitar 7 kilometer. Berakhir pada sebuah turunan. Titik terendahnya adalah simpang tiga Plered. Kepulangan saya mengarah ke kiri. Jika belok kanan, maka kita akan sampai di sisi timur laut Waduk Cirata. Kebanyakan pesepeda dari Bandung mengambil tujuan ini, bukan ke Jatiluhur. Hal ini saya ketahui saat berbincang dengan pemilik warung tadi. Amat jarang ia temui pesepeda dari Bandung yang menyelesaikan perjalanannya di Waduk Jatiluhur.

Simpang tiga Plered. Bagi yang ingin ke Waduk Cirata, inilah kelokannya.

Tanpa mengambil jeda, saya meneruskan kayuhan. Bonus sudah berakhir, artinya saya akan disuguhi tanjakan panjang lagi. Tak tanggung-tanggung, tanjakan itu sejauh 11 kilometer. Nyaris tanpa hiburan berupa turunan atau sekedar dataran. Sekalinya menurun hanya sejauh 1 kilometer sebelum disambung dengan tanjakan lagi sejauh 3 kilometer.

Di  balik pemandangan aduhai ini terdapat paha kram dan mental yang diaduk-aduk.

Tenaga saya benar-benar terkuras. Mental saya juga diaduk-aduk. Di etape inilah saya memikirkan kemungkinan untuk menyerah dan minta dijemput. Pikiran yang kemudian saya ralat sendiri seiring dengan terdongkraknya mental. Jangan tanya soal rasa nyeri di paha. Di sebuah dataran pendek, saya sampai harus ndlosor di pinggir jalan karena tak kuasa lagi menahan rasa sakit. Yang bisa saya lakukan hanyalah mengistirahatkan kaki, mengolesinya dengan salep penahan nyeri, dan memijit sembari merayunya agar tak merajuk lagi. Kepada tanjakan Cikalong Wetan, saya menjura.

Lokasi saya ndlosor di pinggir jalan. Kedua paha kram. Diluruskan maupun ditekuk sama-sama sakit.

Azan Magrib berkumandang saat saya melintas di masjid Baabussalam, Panglejar. Demi memulihkan tenaga, saya berhenti sejenak. Segelas teh manis dan dua buah pisang. Kesempatan itu juga saya gunakan untuk mengabari posisi terkini kepada nyonya. Tempat ini melekat dalam ingatan, karena tahun lalu, bersama teman-teman Bea Cukai pernah melewatinya. Saat itu kami bersepeda cross country dari Bukit Senyum hingga pintu air Waduk Cirata. Kami makan siang di warung di dekat masjid tersebut.

Istirahat sejenak di samping masjid Baabussalam, Panglejar. Tahun lalu saya bersama teman-teman Bea Cukai pernah bersepeda melintasi tempat ini.

Begitu beranjak lagi, saya menyalakan lampu depan. Saya pasang pada mode flash agar lebih mudah dikenali kendaraan lain. Hal yang tak patut ditiru adalah saya lupa membawa lampu belakang. Selain itu rompi keselamatan pun tak ada di tas bawaan. Kondisi ini tentu berbahaya bagi kita dan pengendara lain. Keberadaan kita semata-mata tergantung pada cahaya lampu depan yang berkedap-kedip.

Kondisi aspal juga tidak menguntungkan saya. Di beberapa bagian, aspalnya sudah mengelupas. Selain membuat jalan berlubang, hal tersebut juga membikin kerikil berserakan. Ban sepeda bisa kehilangan cengkeramannya.

Turunan Mandalasari sepanjang 6 kilometer saya lalui dengan kecepatan sedang, sekitar 25 kilometer per jam. Kecepatan ini tentu tak ideal jika dilakukan pada siang hari. Apa daya, saya tak berani melaju lebih cepat. Penerangan yang  minim dan kondisi jalanlah yang membuat saya tak berani ngebut.

Selain minimnya penerangan dan kondisi jalan, sejujurnya saya juga digayuti pikiran lain. Tatkala turunan ini berakhir, maka di sanalah tantangan terberat akan menunggu. Tanjakan panjang, sepanjang sembilan kilometer tanpa jeda. Membentang dari Mandalasari, Sumurbandung, hingga berakhir di Tagog Apu.

Meniti tanjakan sepanjang itu, dalam kondisi minim penerangan, baik penerangan kendaraan maupun penerangan jalan, fisik yang letih lunglai, dan aspal yang menaburkan kerikil, tentu bukan perkara mudah. Saya sama sekali tidak kawatir soal gangguan kriminal. Bukan bermaksud takabur. Rasanya belum pernah dengar ada pengelana sepeda yang dirampok di tengah perjalanan, hehe.

Gigi saya siagakan di 3 terendah. Saya mengayuh sepelan dan sesantai mungkin. Pelantang suara saya gunakan untuk menyetel bacaan kitab suci. Hal ini saya lakukan sejak azan Magrib berkumandang tadi. Selain fisik, saya tahu bahwa modal melalui ini adalah mental. Dan hanya Yang Maha Kuasalah tempat saya bersandar, bukan tawaran loading dari kolbak.

Hingga separuh perjalanan, saya baik-baik saja. Yang membuat saya harus istirahat adalah hasrat untuk berkemih. Oya, buang air kecil adalah hal rutin yang harus dilalui oleh seorang pesepeda. Itu pertanda baik. Bahwa tubuh kita tidak kekurangan cairan. Sebuah masjid menjadi tempat persinggahan. Di serambinya, puluhan anak sedang belajar membaca ayat Al Quran. Kepada seorang pria yang duduk di teras, saya menanyakan lokasi toilet.

“Dari mana, Pak?” tanyanya usai saya kembali dari sana.

“Jatiluhur, Mas.”

“Sendirian?”

“Iya, Mas. Saya biasa sepedaan sendirian.”

“Pulangnya ke mana?”

“Bandung, Mas. Buah Batu.”

Rupanya di akrab dengan tempat tinggal saya. Ia bekerja di perusahaan persewaan kendaraan. Pandemi telah mengistirahatkannya untuk waktu yang tak ia ketahui.

“Tinggal di sini, Mas?”

“Iya, Pak. Tuh lagi nganterin anak belajar ngaji.”

Rupanya pria ini juga gemar bersepeda. Rutenya memang hanya seputaran Bandung Barat. Meski begitu, saya tak pernah memandang rendah. Bersepeda itu bukan soal jarak tempuh, tapi lebih pada mencari keriangan. Aliran apa pun, baik kelas CFD maupun tur minggat seperti saya layak dihargai.

“Hati-hati, Pak. Masih ada tanjakan Tagog Apu,” pesannya saat saya pamit.

Pesan itu sedikit menguatkan kewaspadaan yang sempat kendur. Meski fisik dan mental relatif baik, tantangan yang saya hadapi tak pernah hilang. Namanya celaka bisa datang dari mana saja.

Lampu sepeda saya arahkan ke tengah jalan. Dengan cara seperti ini, mata saya tidak terlalu silau oleh pendaran sinarnya yang byar-pet. Selain itu, pengendara lain harusnya lebih mengenali keberadaan saya. Nggak lucu aja ketubruk kendaraan di kegelapan.

Sebetulnya ruas jalan ini tidak benar-benar berupa bulakan. Setiap beberapa ratus meter ada pemukiman warga atau lokasi usaha berupa pangkalan truk. Meski demikian, suasananya memang sepi dan gelap. Dalam pada itu, lantunan ayat suci Al Quran terdengar memecah keheningan. Seram? Tidak juga. Saya terlalu konsentrasi pada jalan yang mendaki, bukan kemungkinan munculnya hantu dari balik rerimbunan.

Akhirnya puncak pendakian itu sudah di depan mata. Batin saya menjadi girang tak terkira. Detik selanjutnya adalah kayuhan ringan sembari menikmati semilir angin malam.

Kertamulya, Cimareme, Cimahi, saya lalui dengan mudah. Saking kuatnya sugesti akan keberhasilan tur ini, saat lewat simpang Cimindi, saya melintasi jalan layangnya. Nyeri di paha, mulas di perut, dan rasa tak nyaman di dada benar-benar sirna. Sisa jarak sejauh 15 kilometer saya tempuh dengan kecepatan di atas 25 km/ jam. Ini membuktikan satu hal, bahwa batas kita adalah pikiran kita sendiri.

Pukul 21.00 saya tiba di rumah tanpa kurang suatu apa. 161 kilometer jarak tempuh, 2,103 meter jumlah tanjakan, 10 jam waktu bergerak, 6.688 kalori yang dikonsumsi bukanlah ukuran apa pun selain bisikan dari dalam sana. “Suatu hari harus diulangi lagi.”

Rangkumen perjalanan versi Strava.

4 comments:

Unknown said...

Alhamdulillah.. Barakallahu fiik Mas Sla

jill's said...

Keren euy...

Masla said...

Aamiin..matur nuwun.

Masla said...

Makasih mbak Jill. Kapan kita gowes minggat?