Kang Dardi
Perawakannya pendek, hanya seratus enam puluh centi meter, kekar, dan
tenaganya luar biasa. Sekarung gabah seberat hampir sekuintal sanggup dia
angkat dengan mudah. Kalau diajak
manggul kayu, kawan segotongannya keteteran karena dia sanggup berjalan cepat
sambil memanggul. Kulitnya hitam, khas pria daerah kami, Tirtomoyo Wonogiri.
Wajahnya ganteng, garis mukanya tegas. Dia masih terhitung keponakan bapak saya,
jadi saya memanggil dia dengan sebutan "kang". Bapak suka minta bantuan dia
untuk mencari pakan sapi dan seabrek pekerjaan kasar lainya.
Meskipun rumahnya tidak terlau
jauh, cuma dipisahkan sungai dan bentangan sawah, dia sering nginap di rumah kami.
Waktu itu saya sudah kelas empat SD, tapi bapak masih suka menyuapi saya. Peran
itu sering digantikan oleh Kang Dardi ketika bapak sedang ada pekerjaan lain.
Ketika senja telah meremang, langit berwarna semburat jingga, saat itulah
waktunya saya disuapi olehnya. Meski pekerjaan dan wataknya agak kasar, dia
amat telaten dalam urusan ini.
Suatu saat, di hari Kamis Pahing, Kang Dardi membuat kejutan. Dia datang
ke rumah naik sepeda jengki. Sepedanya masih relatif baru meski bukan baru dari
toko. Dia beli dari tetangga jauh kami yang sedang butuh uang. Sepeda pancal itu dibeli dengan harga 45.000
rupiah. Saya takjub melihat benda itu. Dalam pandangan saya, sepeda ini beda sekali jika dibanding
sepeda dinas bapak yang tidak bisa kunaiki karena modelnya adalah sepeda
laki-laki. Saya sampai duduk termangu memandangi benda itu. Rupanya Kang Dardi
paham akan isi kepala ini.
"Kowe pengin naik, Ri?", tanyanya kepadaku.
“Boleh, Kang?", jawabku minta penegasan.
"Yo wis sana, naikin sepedanya, bawa ke lapangan sekolahan, tapi
ngati-ati yo...".
Jawaban yang sungguh membuat saya girang.
Dengan muka sumringah segera saya pancal sepeda itu ke arah halaman SD
Sidorejo III, tempat yang lapang buat bermain sepeda. Sensasinya luar biasa. Tidak
ada bunyi oglek-oglek seperti sepeda kebo punya bapak pemberian pemerintah
itu. Sore itu terasa pendek ketika adzan Magrib memaksa saya berhenti main sepeda. Saya segera pulang dan disambut kang Dardi di halaman rumah dengan sepiring nasi
putih dan telur ceplok.
"Sini makan dulu, sepedanya masukin saja."
"Lho kok dimasukin, Kang? Nanti kang Dardi pulang naik apa?
"Wis, malam ini biar di sini saja sepedanya, aku nginap sini
kok."
Jawaban itu amat menggembirakan saya. Suapan demi suapan segera berlalu dengan cepat. Batin saya masih dipenuhi rasa girang akan sepeda ini.
"Kang, habis maem sepedanya aku çuci, ya...?"
"Yo wis, sana cuci yang resik yo, Le...". Segera sepeda itu sayatuntun ke bak air tempat kami mandi. Bapak diam saja melihat kelakuan saya.
Wajahnya lurus, ekspresinya datar.
Sebenarnya beberapa kali saya sudah bilang ke bapak tentang keinginan
akan sepeda. Saya iri sama temen-temen sepermainan yang cuma anak tukang batu saja
dibelikan sepeda sama bapaknya. Sementara aku tahu, bapakku seorang Pegawai Negeri
Sipil, harusnya mampu memenuhi keinginanku. Tapi keinginanku selalu mentok.
Jawaban Bapak selalu sama dan singkat,
"Pilih sepeda apa sekolah?".
Dan itu sudah cukup bagiku untuk tidak merengek lagi.
Keeseokan harinya adalah hari Jumat Pon. Pon adalah hari yg menyenangkan
bagiku karena setiap Pon pasti aku diajak bapak sarapan pagi di warung makan Wo
Wakiyem, dekat Puskesmas Desa Geneng, tempat bapak bertugas. Lauknya cuma kuah
dan sedikit gajih sapi tapi entah kenapa bagiku amat nikmat. Tapi pagi itu aku
lebih tertarik untuk mengelus-elus sepeda jengki milik kang Dardi. Belum puas
aku memegangi benda itu bapak sudah
mengajakku berangkat sekolah. Berat rasanya pagi ini aku berangkat
sekolah meski hari ini adalah hari Pon. Kang Dardi rupanya pagi-pagi sudah
berangkat ke ladang seberang sungai. Bapak menyuruh dia menyemai tanaman
kedelai dan jagung yang mulai diganggu perdu.
Jam sebelas siang aku sudah sampai di rumah sepulang sekolah. Bukan
dapur yang aku tuju, tapi kamar tidur yang berfungsi sebagai gudang, tempat aku
memarkir sepeda itu. Aku tidak sabar ingin segera main sepeda lagi. Langkahku
terhenti di tiang rumah tempat sepeda itu kemarin sore aku sandarkan. Benda itu
tidak ada di tempatnya. Aku terdiam, nyaris terisak. Nenek dari ibuku
mendatangiku dengan raut muka keheranan,
"Kenapa le, kok pulang sekolah merengut gitu?".
"Sepeda kang Dardi mana, Mbah?" tanyaku mlongo.
"Gini le, tadi kakangmu Dardi dijemput adiknya, Daman. Bapaknya sakit,
harus segera dibawa ke dokter", jawab simbah dengan suara pelan.
"Terus sepedanya kemana, mbah?" cecarku.
"Lha ya itu, le... Kakangmu Dardi lagi nggak punya duit, terpaksa
sepeda itu dijual ke lek Kodir," jawab simbah.
Jawaban simbah seperti sebuah petaka bagiku. Aku nangis sesenggukan di
pangkuannya. Simbah mengelus-elus rambutku.
"Le, wis aja nangis. Nanti kalo thole sudah jadi orang pasti bisa
beli sepeda sendiri," ujar simbah.
Sore itu terasa suram bagiku. Suapan nasi berlauk telur ceplok terasa
hambar. Tawa kang Saidi, lek Paimin dan kang Dodo yang sedang bermain sepeda di
jalanan mengiris-iris hatiku...
*Kampung Makasar, 25 Nopember 2012, 23.21 WIB,
sesaat setelah aku mencuci sepeda motorku.
2 comments:
terharu bacanya paksla, ttg ketulusan mrelakan sesuatu yg mungkin berarti buat kita utk org lain,, dan masa lalu kita, terkadang membuat lebih bersyukur ya paksla.?
Betul mas/mbak.... saya masih inget persis kejadian ini...
Post a Comment