Friday, February 28, 2014

Cara Darwis Triadi Memandang Obyek














Saya rada kecewa ketika panitia mengabarkan bahwa akhirnya yang menjadi nara sumber Workshop Fotografi Jurnalistik Lanjutan om Darwis Triadi. Bagi saya, nama besarnya tidak berada pada bidang fotografi jurnalistik. Bagi saya, seorang Darwis Triadi hanyalah seorang fotografer model wanita-wanita cantik. Bagi saya, seorang Darwis Triadi tak layak menggantikan Arbain Rambey dan Oscar Motuloh, dua nama yang sempat saya hubungi tapi tak bisa karena alasan waktu.
Ketika akhirnya pagi ini sosoknya sudah muncul di hadapan kami, stigma itu masih saja melekat. Sejujurnya ini bukan kali pertama saya bertemu dengannya secara langsung. Beberapa bulan lalu saya bersua dengannya di sebuah acara di gunung Bromo. Saya malas menyapanya. Menurut saya waktu itu, dia adalah sosok yang dingin, asyik dengan kamera mirrorless-nya, seperti kutu loncat yang sibuk mencari sudut pemotretan, dan tak peduli dengan keberadaan orang lain. Sungguh  bukan tipe manusia yang saya sukai.
Dia menggebrak pertemuan pagi ini dengan satu kalimat, bahwa di era kamera digital ini fotografi harusnya bebas dari accident teknis. Quote yang menohok, karena dalam kiprah saya selama 10 tahun di dunia fotografi tak mampu membebaskan saya dari serangkaian accident teknis. Dia lantas mengumandangkan rentetan postulat. Bahwa fotografi itu seharusnya menjadi kegiatan yang menyenangkan, tidak boleh dibikin rumit, apalagi berkutat di masalah teknis. Lagi-lagi saya tertohok, skak mat. Bagi saya urusan teknis, utamanya setting warna, adalah urusan krusial dan misterius. Lha dia ini kok dengan enteng bilang begitu.
Dua layar yang disiapkan di kelas tak segera menampilkan slide-slide yang menuntun saya lebih memahamii fotografi jurnalistik. Dia malah sibuk berceloteh sesuatu yang menurut saya tak terlalu ada hubungannya dengan tujuan workshop ini. Sumber cahaya tunggal, pendekatan ke obyek, jangan risau dengan noise, cerita tentang pengalamannya, adalah serangkaian materi yang menurut saya mulai membosankan. Oke lah, dia memang kampium di bidang fotografi model, tapi saya masih bukti bahwa dia layak jadi nara sumber di workshop ini.
Maka ketika dia mulai membuka sesi tanya jawab, saya langsung mengangkat tangan. Inilah saatnya menguji kelayakan dan kepantasannya. Saya menyanggah teori dia bahwa  memotret manusia itu lebih bagus di area shade dan low light. Bagi saya, memotret manusia, terutama untuk tujuan keindahan skin tone, harus melibatkan siraman cahaya secara langsung, atau hasil foto akan mendem warnanya. Dia tak banyak menguraikan teori untuk menjawab sanggahan saya tersebut. Jawabannya pun hanya singkat,
“Nanti mas Slamet hunting di sebelah saya, ya. Saya tunjukkan bukti dari teori saya tadi.”
Devie, seorang kawan yang selama ini saya anggap linuwih di bidang street photography, nimbrung dengan sebuah pertanyaan menarik.
“Pak Darwis,bagaimana caranya memotret agar pesan yang pengin kita sampaikan itu sampai ke pikiran pemirsa?”
Pertanyaan ini saya nilai menarik, karena selama ini saya selalu berhasil menangkap pesan dalam fotonya. Jawaban berikutnya mulai sedikit menggeser stigma saya ke om Darwis.
“Yakinlah dengan perasaanmu sendiri, karena jika kamu tidak yakin, gimana orang lain bisa yakin?”
Saya rasa jawaban itu amat dalam maknanya. Selama ini saya cenderung mengekor ide orang lain dan tidak percaya diri dengan ide kreatif saya. Arbain Rambey pernah bilang bahwa kreatifitas adalah sebuah penjiplakan yang tidak ketahuan. Itu pun tak cukup membuat saya mampu menumbuhkan kepercayaan diri saya selama ini. Namun pernyataan om Darwis barusan mampu menutup gerbang keminderan saya.
“Jadi Saudara-saudara, memotret adalah menghubungkan mata Anda dengan hati anda. Kamera anda itu benda bodoh yang kepintarannya tergantung dua indera Anda itu.”
Lagi-lagi saya terdiam. Selama ini saya mendewakan benda mahal berwarna hitam pekat ini. Mendengar pernyataannya barusan, saya sebetulnya terpancing untuk bertanya lebih jauh. Namun seorang teman lebih dahulu mengangkat tangannya.
“Apa maksud pernyataan itu, Pak?”
“Gampang, ketika air liur Anda meleleh ketika melihat rujak di siang hari, maka itulah tandanya terjadi kontak antara mata dan hati Anda.”
Jreng.... sebuah analogi yang menurut saya sangat mudah dicerna siapapun.
“Itulah kenapa saya tadi bilang, jangan berkutat ke urusan teknis foto. Kedepankan rasa Anda. Maka ketika rasa itu sudah mendominasi, publik akan maklum dengan foto Anda yang under maupun over. Sesederhana itu.”
Saya lantas teringat dengan diskusi panjang lebar dengan mas Gathot Subroto. Kakak kelas saya ini memang pendiriannya kuat. Dia juga bilang hal yang sama, rasa, rasa, dan rasa. Semula saya menolak dogma rasa itu. Bagi saya, foto itu bahasa visual yang sarat unsur teknis, bukan rasa.
“Nanti kita akan sama-sama hunting ke jalan Malioboro. Pesan saya cuma satu, manusiakan obyek foto Anda. Memang benar, separuh dari jiwa kita adalah pencuri, tapi tetap kedepankan rasa kemanusiaan Anda, kecuali Anda mau motret cicak.”
Sore itu Yogyakarta usai disiram hujan ringan. Halaman hotel Inna Garuda masih tergenangi air di beberapa bagian. Kami ber dua puluh bak robongan bebek yang mengekor sang penggembala. Jalan Malioboro ini bak medan pertempuran yang menuntut kejelian kita untuk bersembunyi, atau kita akan tewas tertembak musuh. Ribuan obyek foto bertumpuk di sana. Meskipun ini kali ke sekian saya motret di sini, saya belum bisa menemukan bahkan sekeping obyek yang menarik. Saya lantas teringat perkataan Devie Koerniawan, bahwa kunci dari keberhasilan menemukan obyek adalah penghargaan terhadap kesederhanaan. Dia bercerita bahwa dari buku yang baru saja dia khatamkan, ada sebuah tolok ukur kejelian seorang fotografer. Penulis buku itu mengatakan bahwa apabila Anda sudah bisa menemukan 20 obyek dalam ruang toilet yang Anda duduki, maka Anda baru bisa dikatakan berhasil menghargai sebuah kesederhanan obyek foto. Blaik...
Saya masih asyik mengatur setelan kamera, ketika saya sadari om Darwis sudah asyik jeprat-jepret di luar pagar hotel. Pria yang selalu mengenakan topi ini tengah berdiri di depan tukang becak yang sedang mangkal di depan gerbang hotel. Jarak antara dia dengannya hanya selangkah. Namun itu tak lama, dia dengan cepat berpindah ke sudut lain, masih dengan obyek bidikan yang sama. Selang beberapa waktu kemudian, dia menerobos padatnya jalan Malioboro sore itu. Daaan... dia berhenti di tengah-tengah jalan yang sedang disemuti ratusan kendaraan dengan kecepatan sedang itu. Dia berdiri di sana, menghadang arah kedatangan kendaraan sembari memoret. Saya hanya bisa memandang dengan takjub dari pinggir jalan.
Dengan langkah mantab dan penuh percaya diri, pria paruh baya itu memepet pedagang yang sedang terlibat tawar menawar dengan calon pembeli. Saya lihat dia sudah berganti kamera yang dipasangi lensa tele. Pandangan miring saya terhadap kamera mirrorless mulai terkoreksi. Selama ini saya menganggap kamera mirroless itu bak mainan dan tidak sesuai dengan passion fotografi profesional karena dimensinya terlalu ringkas dan cara melihat obyek bidikan melalui lcd, bukan view finder. Kali ini saya mulai iri dengan kepraktisan memotret menggunakan kamera mirrorless dibandingkan dengan DSLR. Pundak saya mulai pegal dengan beban tas kamera berisi lensa 80-200 mm dan sebuah flash gun.
Sepur yang memisahkah jalan Malioboro dengan jalan Mangkubumi menjadi persinggahan kami selanjutnya. Di sini kami bergerombol merubung obyek yang sama, tukang becak dan para penyeberang lintasan kereta api. Saya mendekati om Darwis Triadi. Saya penasaran dengan pola komunikasi dia dengan obyek foto, karena saya tak melihat percakapan dia dengan obyek tersebut. Perlu beberapa lama untuk memahami pengertian komunikasi menurutnya. Bahkan itu sudah dia utarakan tadi pagi di kelas.
“Wajah saya ini seram. Jangankan marah, saya diam aja orang sudah mengira saya sedang marah. Padahal tidak, saya ya hanya diam. Dari situ saya belajar menebar senyum.”
Ah... lagi-lagi saya merasa tertohok dengan pernyataannya. Seharusnya sedari dulu saya belajar kepadanya. Kebetulan wajah saya lebih menyeramkan.
Akhirnya, ketika kumandang adzan Magrib mengisyaratkan bahwa hunting ini telah selesai, saya berucap syukur. Delapan jam bersama om Darwis telah memberi banyak  hal baru kepada saya, tak hanya hal-hal seputar fotografi, tapi menjurus ke hal-hal seputar kehidupan.
Maka saya kian maklum ketika mas Harris Rinaldi, yang seyogyanya menjadi peserta acara ini, misuh-misuh ketika Surat Tugasnya dibatalkan karena ada tugas lain yang lebih penting.


Yogyakarta, 28 Februari 2014.

Sunday, February 23, 2014

Tidur tanpa CD

“Ayo, Le..  Cepetan ganti baju.. Bapakmu sudah nunggu, tuuh” ujar simbah dengan lembut sembari mengelus kepala saya.

Dengan langkah gontai, saya beranjak ke kamar mandi yang terletak di pojokan dapur, sebelah pintu keluar itu.

Siang ini cuaca amat terik. Debu menyelimuti jalanan desa yang belum beraspal. Saya dan bapak menunggu angkutan umum di sudut desa. Kami harus menunggu lama karena hari ini  adalah hari Minggu. Hari dimana penumpang akan sepi karena aktivitas perekonomian melambat dan anak sekolah libur.

Saya duduk di atas batu besar. Pikiran saya melayang melampaui pematang sawah yang terbentang di bawah sana. Saya tak habis pikir, kenapa orang tua saya bersikukuh memondokkan saya di rumah Mbah Sakiyem. Jarak dari rumah saya ke SMP Negeri Tirtomoyo hanya 12 kilometer dan tersedia angkutan umum. Yang lebih mengherankan lagi, hanya saya satu-satunya anak yang dipondokkan.  Yang lain tidak. Kang Wagino, Yoto, mas Naryo, dan semua teman SD saya menjalani hari barunya di SMP tanpa harus terkekang dalam rumah pondokan. Masalah ekonomi? Tidak, orang tua saya paling mampu secara ekonomis dibanding orang tua mereka.

“Gini lho, To... Bapak pengin kamu belajar ngenger, ikut orang. Biar kamu mandiri. Kamu kan anak mbarep.”
“Tapi mbah Sakiyem kan galak, Pak?”
“Enggak, Le. Mbahmu itu galaknya pener. Lha ini Bapakmu dulu diasuh sama dia bertahun-tahun.”
Tak kurang, bu Dini, guru SD saya sudah mengingatkan saya tentang kegalakan simbah.
“Aku dulu juga ikut mbah Sakiyem lho, To. Kamu harus kuat mental,” ujarnya suatu hari.

Saya hanya diam terpekur. Logika saya menentang jalan pikiran bapak. Namun apa mau dikata, sabda itu telah tertitah. Mulai hari ini saya harus menjalani hidup di rumah Mbah Sakiyem. Tepatnya numpang hidup.

Mitsubshi Colt T120 buatan tahun 1982 ini memang karya besar. Mesinnya bandel, bodinya tambeng. Dengan kapasitas mesin hanya 1.200 liter, mobil ini mampu mengangkut 12 penumpang dewasa tanpa kehabisan tenaga. Tanjakan Gunung Mijil yang curam dan buruk rupa dilalapnya tanpa kesulitan. Sopirnya seorang pria paruh baya, lek Giman namanya. Kami saling kenal satu sama lain karena dia suka ngetem di pasar desa saya.

“Lho, hari Minggu kok sudah mau sekolah, bukannya besok, To?”
Bapak menyergah.
“Iyo besok.  Tapi dari Nggodang. Anto mau mondok di sana.”
“Oooo.... Wah harus siap-siap digalaki Mbah Sakiyem dong.”
Kami terdiam.

Perjalanan sejauh 10 kilometer ini memakan waktu hampir 45 menit. Dengan sigap bapak menurunkan tas punggung yang berisi beberapa lembar pakaian dan buku saya. Saya mengekor di belakangnya dengan perasaan galau.

Sosok pria tua berpostur tinggi besar berambut putih itu tergopoh-gopoh menyambut saya. Suaranya menggelegar.

“Sini...sini putu lanang... Wah besok sudah mulai sekolah ya....”
“Inggih, Mbah.”

Kami segera duduk nglesot di lantai rumah depan beralaskan tikar plastik. Beberapa orang sibuk hilir mudik mengangkut jenang dodol dari dapur ke ruangan ini. Nampan berisi jenang dodol hangat yang sudah tercetak itu disusun di rak kayu. Aromanya meruah sedap, membuat air liur saya meleleh.

“Jadi mulai hari ini saya nitip Anto, Pak,” ujar bapak ke mbah Padmo, suami Mbah Sakiyem.
“Iyo... Nggak apa-apa. Semoga anakmu kerasan, So.”

Seorang wanita paruh  baya membawakan minuman dan beberap iris jenang dodol di piring keramik.

“Ini mas Anto dicobain jenangnya sebelum bosen. Nanti tiap hari juga bisa makan jenang kok.”

Dia adalah mbak Muk, keponakan mbah Sakiyem yang diangkat sebagai anak pungut. Mbak Muk sudah berkeluarga dan dikarunia lima orang anak. Keluarga itu tinggal di rumah ini. Selain keluarga mbak Muk, ada dua lagi keponakan mbah Sakiyem yang tinggal di rumah ini, Pur dan mas Warto. Pur masih sekolah seperti saya, sedangkan mas Warto adalah seorang guru Sekolah Dasar di desa saya.

Mereka semua ikut ngumpul di ruang tengah menyambut kedatangan saya. Saya mulai mengakrabi suasana rumah ini. Kebetulan hari ini adalah hari Minggu Wage, dimana aktifitas rumah ini meningkat pesat menyiapkan dagangan buat dijual besok di pasar Tirtomoyo. Namum pikiran saya masih risau. Sosok yang selama ini membuat gamang belum kelihatan batang hidungnya, mbah Sakiyem.

“Nanti tidurnya sama aku, Ri. Tu kamarnya di belakangmu,” ujar mas Warto.
“Inggih, Mas.”
“Ri, nanti malam kita ke ladang belakang rumah ya, njagain pompa air, lagi ngairin taneman kacang tanah,” ujar Pur.
“Hus, aja macem-macem kowe, Pur. Rianto ini di sini buat belajar, bukan kerja. Nanti sekolahnya bodoh kayak kamu,” sergah mbah Padmo.
“Nggak apa-apa, Mbah. Rianto kalo di rumah juga saya ajak nyari rumput kok. Pokoknya semua kerjaan di sini harus bisa dia kerjakan, Pak. Dia saya titipkan di sini biar belajar semuanya.”
“Iyo, aku ngerti, So. Tapi anakmu ini kan pinter. Sayang kalo waktunya terbuang buat mbantuin kerjaan. Biar dia sinau saja.”

Sekonyong-konyong seorang wanita tua berkain jarik mendatangi kami dengan langkah cepat. Tanpa basa-basi dia memeluk saya sembari menciumi pipi saya dengan sporadis.

“Oalaah So.. So... Anakmu kok sudah gede gini... Sudah pada makan belum. Ayo... ayo... kalian makan dulu.  Tu daging ragi sama sayurnya sudah mateng..” ujarnya sembari menarik tangan saya ke arah dapur.

Dapur itu masih berlantai tanah. Di sebelah kiri, mepet dinding, ada dua tungku besar. Tampak dua orang wanita paruh baya yang sedang menggoreng rempeyek dan tempe keripik. Di sebelah kanan ada sebuah tungku yang lebih besar lagi. Seorang pria berkulit legam tampak sedang mengaduk adonan jenang dodol. Keringatnya bercucuran karena hawa di tungku itu amat panas.

Dengan sigap wanita tua itu membimbing saya ke meja makan besar. Sebaskom daging ragi menggunung di sana. Dia segera menyodorkan piring kosong ke saya.

“Tuh ambil sendiri lauknya. Yo kayak gini ini rumahnya mbahmu Ri. Kalo hari Wage serba ribet, besok mau jualan di pasar. Tapi kamu nggak usah ikutan ribet. Tugasmu di sini cuma belajar dan belajar. Simbah nggak mau kamu kayak bapakmu, sekolahe dulu bodo karena sama bapaknya disuruh angon kerbau melulu..”

Sembari makan saya masih berpikir, ternyata bayangan buruk saya sebelum ini salah besar. Mbah Sakiyem yang diceritakan orang tidak seperti yang saya hadapi. Dengan telaten beliau menunggui saya makan. Nada bicaranya memang cepat dan tak berjeda. Gerakan dan langkahnya gesit untuk orang seusianya. Dan di tangannya terselip sebatang rokok.

“Jadi orang itu harus temen, Ri. Bapakmu itu meski sekolahnya bodo dia temen, serius, fokus. Liat aja, teman-teman sekolahnya nggak ada yang jadi pegawai negeri. Bapakmu doang yang jadi orang. Itu artinya dia temen. Nah kamu kan anak mbarep, laki-laki, harus bisa jadi contoh buat adik-adikmu. Makanya Simbah seneng kamu mau tinggal di sini. Di sini kerjaan banyak, tapi kamu nggak usah pikirin. Yang penting kamu sinau. Nggak usah ikut-ikut si Pur nyari rumput. Pokoke kamu belajar. Wis tak tinggal yo. Simbah lagi ada pasien. Tu si Prayit, anake pak Lurah Tempel kena hernia.”

Wanita tua itu lenyap dalam sekelebatan mata. Gerakannya benar-benar seperti hantu.

Demikianlah akhirnya, mulai hari itu saya menjalani hidup di rumah mbah Sakiyem. Sebetulnya saya dilarang keras membantu kerjaan di dapur, tapi melihat lek Paimin ngaduk adonan jenang kok jiwa ke-ndeso-an saya tertantang. Dia juga mengajari saya dengan semangat. Kebetulan anaknya ada yang seumuran dengan saya, sehingga kami cepat akrab. Walhasil dalam beberapa hari saya sudah piawai mengaduk adonan jenang. Sembari mengaduk, saya cicipi intip jenang yang gosong. Ternyata rasanya lebih enak dibanding yang biasa dijual, lebih sensasional, ada aroma arangnya.

Segudang pekerjaan lain juga saya lakoni, menyabit rumput buat pakan sapi, memarut kelapa dan menggililing beras jadi tepung dengan mesin, menyusun peyek dan tempe keripik dalam kaleng kerupuk dan begadang di ladang untuk menjaga mesin pompa air yang tengah mengairi tanaman kacang panjang.

Namun ada satu pekerjaan yang paling saya sukai, yaitu menghitung uang hasil jualan di pasar.Kotak kayu berisi uang itu dibuka lantas isinya ditumpahkan ke atas meja. Beragam pecahan uang ada di sana, mulai uang logam pecahan 25 rupiah sampai uang kertas pecahan 10.00 rupiah. Saya lantas mengelompokkan uang itu sesuai nominal pecahannya, menyusunya dengan pola yang sama dan mengikatnya dengan benang jahit. Mbah Sakiyem bilang bahwa tuyul tak akan mampu mencuri uang yang diikat dengan benang jahit. Di kotak uang itu juga terdapat kulit durian yang sudah kering. Fungsinya sama, menangkal kejahatan tuyul.

Menginjak tahun ke tiga, ketika saya naik ke kelas 3 SMP, dengan berat hati, rumah pondokan ini saya tinggalkan. Bapak punya pertimbangan tersendiri. Dia tidak mau anaknya tercemari kebiasaan jelek yang sedang merebak di kota kecil kami, judi togel dan judi kartu Cina. Kebetulan rumah itu sering jadi ajang dua hal itu. Jaman itu bahkan aparat kepolisian ikut bergabung dengan para penjudi itu, tanpa ada rasa bersalah.

Dua tahun yang sarat makna. Betapa saya dididik untuk mandiri dan harus bisa mengubah kebiasaan di rumah.

Betapa tidak, posisi saya sebagai anak sulung amat menguntungkan saya di keluarga saya. Segala hal yang diprioritaskan adalah saya, mulai dari urusan pembagian lauk sampai urusan baju lebaran. Dua tahun numpang di rumah mbah Sakiyem membuat keistimewaan saya terampas. Kedudukan saya sama dengan saudara-saudara lain yang numpang di situ. Saya hanya bisa kembali menikmati tahta saya di akhir pekan, ketika saya mudik ke orang tua. Namun satu hal besar yang saya dapat adalah bahwa hidup di rumah orang mampu mengubah sifat kolokan saya selama ini.

Sabtu, seminggu yang lalu...

Saya sekeluarga pergi ke Bandung untuk satu tujuan, mencari tempat kost buat saya. Perasaan saya amat melo saat itu. Ingatan saya kembali terbang ke Juni 1986, ketika siang itu saya diantar bapak ke rumah Mbah Sakiyem. Sepanjang saya perjalanan saya memilih diam, karena saya tahu apa yang akan saya hadapi di Bandung. Kesendirian, kesunyian, keterserahan; tiga kata yang sejak menikah saya tanggalkan karena hidup saya diurusi orang lain.

Ketika akhirnya pada hari Selasa lalu saya benar-benar memulai perjalanan baru itu, saya tak bisa segera tidur. Kamar sempit ini terasa kian menghimpit perasaan. Dalam keremangan dan kesunyian saya menghela nafas panjang. Sejak saat ini saya harus mengubah (lagi) banyak hal; mulai dari makan harus ke warung, bangun tidur tak ada yang menyediakan teh anget, milih warna baju harus hati-hati biar tidak salah warna, hingga hal sepele, tidur tidak memakai celana dalam agar irit cucian.


Kampung Makasar, 22 Februari 2014, 21.01 WIB

Tuesday, February 18, 2014

Belajar dengan saya Tak Pernah Bayar, asal Rela Dihina

Sebuah pesan rada terlambat saya buka. Dia datang dari sohib saya di kantor lama,Hendra Hadi Saputra.
“Masla, mau bikin pengumuman, nih. Pake software apa ya?”
Pengumuman yang dimaksud adalah pengumuman melalui sound system gedung utama Kantor Pusat Ditjen Pajak. Proses kerjanya dimulai dengan merekam suara announcer ke dalam komputer, lalu diedit dan dijadikan cd audio, terakhir tinggal dikasihkan ke kantor building management untuk diputar sesuai pesanan kita.
Hal ini sudah sering saya lakukan. Bermodal wireless clip on dan software Sony Vegas, pekerjaan ini tidak terlalu sulit dilakukan. Hanya saja bagi yang belum pernah melakukannya memang perlu waktu untuk belajar.
Syukurlah, setelah melalui proses tutorial singkat lewat sarana chatting, Hendra dapat menyelesaikan pekerjaan ini dengan baik. Dia sempat mengalami kesulitan ketika software tidak mengenal sinyal suara dari microphone. Ternyata dia tahu apa yang harus dilakukan tanpa instruksi dari saya, cukup dengan me­-restart software tersebut; semudah itu. Saya sangat senang hal yang mungkin dianggap susah mejadi sesuatu yang mudah dilakukan.
Jum’at sore lalu, pada kesempatan terakhir ngobrol dengan Arief, sekondan saya di P2Humas, dia juga menanyakan hal-hal seputar pengolahan file multi media. Dia juga terhenyak ketika mendapat mandat penyimpanan seluruh peralatan dokumentasi milik P2Humas. Siang itu seluruh barang tersebut telah saya serah terimakan ke atasan saya. Saya sendiri juga kaget ketika menyadari bahwa selama ini saya mengelola 45 jenis barang sarana dokumentasi kegiatan kehumasan.
Sekian tahun bertugas di sini, bidang pekerjaan saya memang tak lepas dari urusan multi media. Saya memang mengawali semua ini dengan fotografi, tapi dalam perkembangan selanjutnya tugas saya melebar ke hal-hal yang tak hanya sebatas fotografi.
Setahun yang lalu saya diberi tugas untuk membuat video tutorial pelayanan NPWP dan Starter Kit, sebuah produk baru direktorat kami. Sejak awal saya sudah membayangkan lingkup pekerjaan tersebut. Saya pasti akan menjadi seorang pembuat skrip, lightingman, sound master, kameramen, sekaligus sutradara dari proyek itu. Dan benar, itulah yang terjadi.
Saya menyadari bahwa saya sering memborong sebuah peran dalam suatu pekerjaan. Hal yang sebenarnya tidak sehat dalam tim kerja. Namun saya melakukannya bukann tanpa alasan. Kedudukan saya dalam sebuah tim ya hanya sebagai anggota. Jabatan struktural saya pun juga sama dengan anggota tim lain, sehingga saya merasa tidak punya hak untuk memerintah anggota tim lain.
Sebenarnya saya menyadari dan mengenali dengan baik potensi masing-masing teman yang pernah bekerja bareng dengan saya. Hendra, teman yang saya sebut tadi adalah seseorang yang jago desain grafis. Febri Eriyanto adalah teman yang semangat belajar hal baru patut diacungi jempol. Anaknya tambeng, tak pernah kesal meskipun sering saya perlakukaan dengan omongan kasar dan bernada mengejek. Saya memang punya prinsip, belajar dengan saya tidak pernah bayar, asal rela dihina. Arief adalah alumni SMU Taruna Nusantara yang punya kepatuhan komando amat tinggi. Tak kata tidak yang keluar dari mulutnya setiap saya meminta sesuatu. Di samping mereka bertiga masih banyak teman lain yang masing-masingnya talenta dan etos kerja yang luar biasa. Ada Ramzu, Lukman, Haris, Hendra Kuwu dan banyak nama lainnya.
Kejadian sore tadi lantas mengusik pikiran saya. Jangan-jangan selama ini saya telah merampas kesempatan mereka untuk berkarya...

Bandung, 17 Februari 2014.

Tuesday, February 11, 2014

Anggang-anggang

Abiyyu - 2008

Saya baru saja merapikan layang-layang yang baru selesai saya bikin dengan Kang Saidi, ketika Simbah sudah berdiri dengan muka masam di depan saya.
"Mainan kok gonta-ganti to, Le....!"
"Lha sekarang kan musim angin, Mbah.. Makanya bikin layang-layang."
"Trus mainan mobil-mobilanmu itu mau mbok apain?"
"Ya simpen dulu, Mbah.. Nanti kalo sudah musim dipake lagi."
Simbah segera berlalu, menuju ke pojokan dapur dan segera mengambil sekapur sirih, nginang. Kebiasaan itu dia lakoni setiap hari, sepanjang ingatan saya.
"Ayo, Ri.. Kita ke Salam.. Mukalim sama Yoto sudah nunggu tu.." ujar kang Saidi.
"Iyo, Kang. Tapi laper, je. Gimana kalo menthong dulu.."
Kami segera menuju dapur. Di atas babragan ada secuil sayur sisa makan siang, terung dan tempe. Di cething masih ada nasi thiwul. Menu yang komplit untuk sekedar menthong. Kelar menthong, kami bergegas menyambar layang-layang itu.
"E...e..e..... Kalian mau kemana?"
"Main layang-layang, Mbah."
"Nggak boleh, wong habis makan kok main. Mbok duduk dulu biar jadi daging."
Kami segera surut langkah. Titah Simbah pantang dilawan, atau sarapan enak terancam tak tersedia. Kami segera duduk-duduk di kandang samping rumah dapur. Seekor lembu betina yang tengah hamil terikat di sana. Bapak sedang mengelus-elus lembu milik bibi tirinya itu.
"Berapa lama lagi sapinya lahiran, Pak?"
"Yo masih sebulanan lagi, To."
"Wah.. Bapak nanti dapet bagian separo dong.."
"Iyo.. Makanya yang rajin mbantuin bapak nyari rumput. Biar anak sapi ini lahirnya gede. Kalo anaknya gede kan bagian kita juga gede."
"Inggih, Pak."
"Jangan kebanyakan main, Le. Sinau yang rajin. Kamu kan anak pertama, harus bisa jadi lanjaran buat adik-adikmu, Titik, Bowo dan Indar."
Selarik nasihat itu nyatanya tak mampu menyurutkan hasrat bermain saya. Sejenak setelah perut saya terasa tidak sebah lagi, saya segera memberi kode ke Kang Saidi untuk melanjutkan rencana semula, main layang-layang. Kebetulan bapak sedang ke sungai depan rumah, mencuci cangkul yang habis dipakai untuk mengeruk kotoran lembu. Salam adalah sebuah ceruk desa yang hanya terdiri dari dua rumah, rumah Wo Sakijo dan Wo Sakino. Meskipun namanya mirip, mereka tidak bersaudara. Di atas ceruk itu ada sebuah lereng yang di atasnya membentang jalan desa menuju Jawa Timur. Di jalan itulah kami menyongsong angin. Seperti yang dikatakan Kang Saidi, Yoto dan Mukalim sudah berada di sana. Layang-layang mereka sudah membumbung tinggi. Ekornya meliuk-liuk tertiup sang bayu. Saya segera membentangkan tali plastik pengikat layang-layang. Di ujung sana Kang Saidi memegangi layang-layang saya. Dengan berlari kecil saya menarik layang-layang itu melawan arah angin. Hanya perlu beberapa menit, layang- layang saya sudah menyusul layang-layang mereka. Jika saya memerlukan bantuan untuk menaikkan layang-layang, tidak demikian dengan Kang Saidi. Dia hanya perlu menarik layang-layangnya sedikit demi sedikit hingga akhirnya membumbung tinggi. Saudara sepupu saya ini memang lebih lihai dalam banyak hal dibanding saya. Wo Sukimo datang melintas. Pria setengah tua itu tengah memanggul jerami, menanjaki jalanan sembari mengepulkan asap dari rokok di mulutnya. Jari telunjuknya cacat, terpotong pisau, sehingga kami suka menyebutnya Wo Sukimo Bujel.
"Hayoo.. Kalo main jangan deket-deket jurang, Le... Nanti jatuh lho.." ujarnya sembari berlalu.
Langit di Puthuk Tenggar telah meremang. Warna jingga menyemburat di sana. Orang desa kami menyebutnya "candik ala". Indah, namun menipu, katanya. Simbah bahkan pernah berujar dengan nada bercanda, jangan milih istri pada saat ada candik ala, kecantikan wanita ketika itu hanya kamuflase. Kami segera menarik tali layang-layang, bergegas kembali ke rumah masing-masing. Bapak sedang menyalakan lampu petromak ketika saya sampai di rumah. Ibu sedang menggendong adik bungsu saya, Indarto. Bowo dan Titik baru selesai mandi. Simbah sudah pulang ke rumah Yu Sarmi, cucu dari anak perempuan pertamanya, Wo Janti. Memang demikianlah ritual yang dilakoni simbah semenjak kematian suaminya serta anak bungsunya, ibu saya, menikah dan pisah rumah. Setiap pagi dia pergi ke rumah saya sampai menjelang senja baru kembali ke rumah asalnya. Jaraknya tak terlalu jauh, hanya 500an meter. Dia tak pernah bersedia menginap di rumah saya. Katanya itu adalah pesan  dari suaminya. Kelar mandi saya segera menuju dapur untuk makan malam. Dalam penerangan lampu sentir saya melahap makan malam berlauk sepotong tempe goreng dan sayur buncis itu. Sayup-sayup terdengar suara adzan Magrib dari masjid di seberang desa. Kami sekeluarga tidak ada yang mendirikan sholat.

※※※※※

Sekolah Dasar Sidorejo III adalah satu-satunya sekolahan di kampung saya. Pagi itu halamannya telah riuh oleh anak-anak yang tengah asyik bermain menunggu bel tanda masuk. Di sudut halaman, lima orang murid wanita sedang bermain lompat tali. Tali yang digunakan untuk bermain terbuat dari karet gelang yang dijalin menjadi seutas tali sepanjang 2 meter. Di tengah lapangan, serombongan murid pria sedang bermain kasti. Merek tak peduli lemparan bola kasti itu sering hampir mengenai murid lain. Yap.. Mereka memang gerombolan murid bengal. Saya memilih menyingkir dari gerombolan itu. Bukan apa-apa, saya tak punya nyali untuk beradu otot dengan mereka. Saya bukan tipe anak laki-laki yang suka berkonfrontasi. Hal itu mungkin hasil dogma orang tua  saya yang senantiasa membasuh otak ini. Jadi orang itu jangan suka bikin keributan, ada apa saja jangan terbawa nafsu, jadilah orang pengalah, demikian piwulang dari kedua orang tua saya. Maka saya memilih permainan yang aman dari kontak fisik, kelereng. Bel tanda masuk berdentang dengan lantang. Lek Nurdi, penjaga sekolah yang membunyikannya. Sepupu bapak ini orangnya lucu namun galak. Saya memilih tak banyak bersentuhan dengannya. Saya segera memimpin barisan murid kelas 3 di depan kelas.
"Siap, grak! Lencang depan, grak!"
Bruk! Bunyi kaki 15 murid menghentak lantai teras kelas. Dengan tertib kami memasuki kelas dan menempati bangku masing-masing. Bu Satini sudah duduk di bangkunya dengan pandangan lurus. Bibi bapak dari nenek ini memang rada galak. Kami semua takut menghadapi guru yang nota bene masih nenek saya ini.
"Rianto... Maju ke depan!"
Saya tergagap. Tas sekolah yang belum sempurna terbuka itu segera saya tinggalkan.
"Coba liat kuku tanganmu!"
Saya segera menyodorkan tangan saya kepadanya. Matilah saya, kuku saya belum dipotong. Ujungnya bahkan berwarna hitam karena menyimpan kotoran tanah.
"Nah ini. Kenapa kukumu panjang?"
"Inggih, Bu... Belum saya potong."
"Jorok! Kamu kan anake pegawai Puskesmas, masak motong kuku aja nunggu dimarahi. Kasih contoh dong sama teman-temanmu. Lagian kamu ini kan ketua kelas."
"Inggih, Bu. Nanti saya potong."
"Ya sudah. Balik ke tempat duduk. Percuma pinter kalo kukumu jorok."
Nafas saya tersengal mendengar hardikan itu. Dari seluruh murid kelas ini, hanya bapak saya yang berprofesi sebagai Pegawai Negeri. Hal itu sering menjadikan posisi saya tidak enak. Sedikit-sedikit sosok saya selalu dikaitkan dengan profesi bapak saya. Ketika nilai ulangan saya turun, saya pasti dimarahi bu Satini. Ketika rambut saya panjang, saya pasti disuruh ke depan kelas untuk dimarahi. Baginya saya harus tampil sempurna, sebagai anak seorang PNS.

※※※※※

Siang itu begitu terik. Selepas makan siang, saya segera menuju ke rumah depan. Di tengah rumah teronggok segunduk pasir kering dari Kali Pucang. Pasir itu rencananya akan digunakan untuk menembok rumah ini. Namun semuanya masih rencana, karena baru pasirlah yang tersedia. Material lain, semen dan batu bata belum ada. Ketika hal itu saya tanyakan kepada Bapak, dia hanya berujar singkat, "Nanti, nunggu kredit dari BRI cair." Jadilah gundukan pasir itu sebagai arena bermain saya. Saya segera menyambar baskom plastik bekas. Baskom itu saya isi dengan pasir, lalu saya tuangkan ke torong. Kucurani pasir itu menerbangkan khayalan saya ke mesin penggiling padi milik mbah Broto, paman bapak. Dalam imajinasi saya, saya menjelma menjadi wo Saman, sosok penggiling padi yang telah renta itu. Tak lama kemudian kang Saidi muncul. Tangannya menenteng layang-layang. Belum sempat dia berkata apa-apa, simbah sudah bersuara.
"Saidi, nggak usah main layang-layang!"
Kakak sepupu saya ini kontan ciut.
"Dolanan di rumah aja. Main pasir sama adikmu itu."
Saya ikut surut nyali. Percuma saja melawan simbah. Akhirnya kami berdua menghabiskan separo hari bermain di sini. Mobil-mobilan yang kemarin sudah saya simpan,  segera saya keluarkan lagi. Punggung gundukan pasir itu menjelma menjadi bukit Tunggangan. Truk kayu itu saya kendarai menanjaki bukit, mengangkut pasir menuju desa sebelah.
"Ngeeeeeeng... Tiiiin... Tiiiin.. Minggir Kang.. Mobilku mau lewat."
Kang Saidi segera menepikan mobilnya, hampir masuk jurang.
"Pelan-pelan dong Ri.." keluhnya.
Meski secara awu dia lebih tua daripada saya, kenyataannya dia segan dengan saya. Status saya sebagai anak PNS memang mengalahkan awu saya yang lebih rendah darinya. Dia selalu mengalah kepada saya, dalam hal apapun.

※※※※※

Bulan puasa telah memasuki minggu ke empat. Tahun ini adalah giliran keluarga kami mudik ke Wonogiri. Kami tiba di rumah orang tua pada tengah hari, setelah menempuh perjalanan 700 kilometer selama 27 jam. Rasa kantuk dan lelah mendera. Namun tak demikian dengan kedua anak saya. Mereka langsung mengajak adik sepupunya, Erwin, main ke sungai depan rumah.
"Biyyu, main di rumah aja. Nggak usah ke sungai, kotor."
"Yaelah, Ma... Nggak kotor kok. Lagian kami cuma mau nangkep anggang-anggang."
Tanpa menunggu persetujuan mamanya, tiga anak-anak itu bergegas menuruni lereng pekarangan rumah. Mereka tak peduli kakinya menginjak-injak kunyit yang ditanam bapak.
"Tolong liatin anak-anak deh, Pak. Mama mau mbongkarin tas."
Dengan langkah hati-hati, saya menyusuri parit yang menjadi pembatas antar petak tanah lahan kunyit itu. Saya menuju batu besar di bawah pohon kelapa. Sembari berbaring, saya ngunandiko, anggang-anggang itu bagi saya dulu bukan binatang aneh. Dia hanyalah makluk air yang aromanya menyengat. Kini penghuni sungai itu menjadi buruan menarik bagi kedua anak saya. Bagi mereka, makluk itu amat menggemaskan karena amat susah ditangkap. Meski tak paham, saya berusaha maklum. Seperti saya memaklumi selera musik mereka yang jedhar-jedher nyaris tanpa kedalaman nada, sementara saya lebih suka menikmati alunan campur sarinya Sunyahni ketika dia melantunkan lagi "Setyo Tuhu".

※※※※※


Ruang Melati RS Pusdikkes Kramat Jati, 11 Februari 2014. Giliran jaga malam. Cepat sembuh ya Abiyyu.. Aamiin..