Bapak berpose di depan Masjid Nabawi |
Kiri ke kanan : Pak Anas, Pak Cucu, Bapak dan Ibu di depan Masjid Terapung, Jeddah |
Cerita bagian I ada di sini
Cerita bagian II ada di sini
Akibat kekurangtahuan pengemudi bus tadi menyebabkan kedatangan kami di Madinah terlambat hampir dua jam. Pukul 20.00 waktu setempat kami tiba di kota yang menurut riwayat diberkahi dua kali dibanding Mekkah ini. Cahaya gemerlap lampu malam tampak menyirami kota yang relatif datar ini.
Sebelum
turun dari bus, Pak Ansori memberi arahan bahwa tak seperti Masjidil Haram yang
buka 24 jam, Masjid Nabawi akan tutup pada pukul 23.00. Jamaah masih bisa masuk
tapi hanya melewati pintu-pintu tertentu. Dia juga berpesan bahwa godaan ibadah
di Madinah jauh lebih besar daripada di Mekkah. Godaan dimaksud adalah godaan
belanja. Tipikal pertokoan di sini memang berbeda dengan di Mekkah. Di Madinah,
begitu keluar dari lobi hotel, kita langsung akan dihadang oleh pusat-pusat
perbelanjaan, mulai dari kelas butik sampai kelas kaki lima.
Saya
segera menuntun bapak dan ibu menuju restoran yang sebentar lagi akan tutup.
Berbeda dengan di Mekkah, makan pagi, siang dan malam kami disediakan oleh
pihak hotel namun waktunya amat ketat. Rupanya pihak hotel menyewa perusahaan
katering khusus untuk jamaah dari Indonesia. Untuk tamu dari Timur Tengah
makannya disediakan oleh koki hotel, entah maksudnya apa. Ketika di Mekkah,
untuk sarapan kami lakukan di restoran hotel, sedangkan makan siang dan makan
malam disediakan di restoran masakan Indonesia yang berada di lantai 3A menara
Zamzam. Waktu yang disediakan di restoran itu juga relatif longgar, sehingga
kami tak pernah buru-buru.
Seperti
biasa, pertama-tama yang saya lakukan adalah mencarikan tempat duduk bagi kedua
orang tua saya, barulah saya mengambilkan makanan untuk bapak. Untuk urusan
makan, ibu sepenuhnya bisa melakukan sendiri. Pak Anas makan bersama pak Cucu,
kesepakatan tak tertulis yang kami buat semenjak di Mekkah, agar saya punya
waktu yang cukup untuk membantu orang tua saya.
“Mau
makan banyak apa sedikit, Pak?”
“Sing
akeh, Le... bapak laper banget.”
Saya
maklum adanya. Perjalanan Mekkah ke Madinah memang lumayan menguras energi.
Sepanjang perjalanan bapak amat membatasi makan dan minum karena takut harus ke
belakang. Hal ini sebenarnya sudah saya larang. Saya tegaskan bahwa bapak tidak
perlu menahan lapar dan haus hanya karena takut merepotkan orang lain. Namun begitulah
bapak, beliau memang susah dilawan jika sudah memutuskan sesuatu.
Seporsi
besar nasi beserta gulai ayam dan lalapan ala kadarnya segera saya sajikan ke
meja bapak. Sebetulnya saya menyimpan kecemasan akan kondisi gula darah beliau.
Namum kecemasan itu segera saya tepis. Saya kembali terngiang kalimatnya yang
menyatakan siap mati di sini. Untunglah adik saya bekerja di perusahaan
farmasi, sehingga sekantong obat wajib bapak beserta jadwal minumnya menjadi
bekal beliau selama di sini.
Tak
berapa lama ibu bergabung di samping bapak. Sembari mengunyah daging ayam, saya
diam-diam mengamati dua sosok agung ini. Orang tua saya ini menjadi pasangan
suami istri melalui jalur perjodohan.
Karakter
keduanya sebetulnya amat bertolak belakang. Ibu adalah sosok melankolis,
berpendidikan hanya sampai kelas 4 SD, anak bungsu dari lima bersaudara.
Kesehariannya ibu adalah sosok yang tak jauh dari urusan dapur, kasur dan
sumur. Sepanjang hidupnya memang tidak pernah
menjalani pekerjaan formal. Dahulu beliau pernah berdagang beras di
pasar kampung dan membuka warung makan.Belakangan setelah anak-anaknya dewasa,
beliau memutuskan konsentrasi menjadi ibu rumah tangga. Naluri keibuannya amat
kuat. Pernah suatu malam, sudah amat larut malam, adik perempuan saya yang
tinggal berdekatan dengan mereka, menelepon saya. Adik saya hanya memastikan
apakah saya sehat-sehat saja. Rupanya seharian tadi setiap makan ibu tersedak. Saya
sampaikan ke adik saya, bahwa saya sekeluarga baik-baik saja. Saya tidak
sampaikan bahwa anak sulung saya sedang kambuh sinusnya, karena jika sampai itu
terjadi, mereka pasti akan segera meluncur ke Jakarta. Sampai sekarang, setiap
malam Senen Legi yang merupakan weton
saya, ibu selalu membuat nasi lengkap dengan urap dan lauk ala kadarnya. Setampan
nasi itu kemudian dibawanya ke mushola depan rumah untuk dibacakan doa buat
saya dan adik ketiga saya yang kebetulan lahir pada hari dan pasaran yang sama.
Sedangkan
bapak adalah sosok pria tangguh. Masa kecilnya yang dihabiskan bersama pamannya
melahirkan sosok mandiri hingga kini. Meskipun berprofesi sebagai pegawai
negeri, bapak amat giat berladang. Baginya tak boleh ada sejengkal tanahpun
yang lepas dari hantaman cangkulnya. Pekarangan rumah kami di kampung sana
tertata rapi, penuh dengan tanaman yang amat terawat. Kini, di masa pensiunnya,
bapak memilih memelihara ayam kampung daripada sapi atau kambing. Disamping
lebih mudah merawatnya, ternyata peliharaan itu disediakan buat anak cucunya
ketika mudik. Selain mandiri, bapak juga sosok yang tegas namun bijak menyikapi
setiap persoalan. Banyak yang mendorong beliau untuk maju sebagai kepala desa
menggantikan ayahnya, tapi dengan tegas beliau menolak. Baginya menjadi rakyat
kebanyakan jauh lebih nyaman dibanding harus memikul tanggung jawab besar
sebagai punggawa rakyat. Satu hal yang saya tiru adalah bahwa bapak tidak
pernah ikut campur masalah keuangan keluarga. Seluruh gajinya dari dulu sampai
sekarang sepenuhnya dikelola oleh ibu. Bapak pernah bilang bahwa jadi pria itu
jangan cengeng, jangan mengandalkan gaji untuk membeli rokok, cangkul, dan
bibit tanaman.
Meski
saling bertolak belakang, kedua insan ini tidak pernah terlibat dalam keributan
besar. Sepanjang hidup saya, saya hanya sekali menemui kejadian yang membuat
ibu menangis. Kejadiannya pun sudah lama sekali, saya bahkan tak sanggup
mengingat apa penyebab peristiwa itu. Bapak memang memilih untuk mengalah
ketika ibu mulai tersulut emosi. Baginya wanita memang bukan lawan tandingnya.
Kami
harus segera beranjak dari restoran itu, karena lampu penerangan sudah
dimatikan. Saya segera menuntun bapak dan ibu ke kamar kami yang terletak di
lantai 5. Kali ini kamar kami terpisah agak jauh meskipun berada di lantai yang
sama. Kepada teman sekamarnyalah saya menitipkan ibu agar ibu bisa sholat
berjamaah di masjid Nabawi. Berbeda dengan Masjidil Haram, di Nabawi pintu
masuk laki-laki dan perempuan terpisah sehingga saya tidak bisa mendudukkan ibu
pada sebuah posisi. Hal ini sebetulnya amat merisaukan perasaaan bapak.
Hilangnya ibu di bukit Marwah tempo hari rupanya amat membekas di hati beliau.
Kami
baru saja selesai menunaikan sholat Jumat ketika terbetik kabar bahwa ada
anggota rombongan kami yang meninggal dunia karena sakit. Kabar tersebut
menyentak kami semua. Syukurlah suaminya ikut serta dalam rombongan ini
sehingga proses penguburan jenazah bisa segera dilaksanakan. Rupanya pihak
rumah sakit di sini tidak akan melakukan apapun terhadap jenazah apabila belum
mendapat ijin dari keluarganya.
“Orang
seperti aku dan ibumu ini tinggal menikmati bonus umur lho, Le,” ujar bapak
sembari tiduran di ranjang sebelah. Saya asyik membalas beberapa pesan di
ponsel sembari duduk membelakanginya.
“Pak,
boleh saya nanya?”
“Meh takon apa, Le?”
“Gini
lho, Pak. Anak bapak ini kan sebagian besar hidup di Jakarta, hanya satu yang
di Wonogiri. Nah, suatu saat nanti ketika Bapak dipanggil Yang Maha Kuasa, apa
harapan Njenengan terhadap kami?”
“Ada
dua, Le. Yang pertama, kalian tak usah menahan jenazah bapak atau ibumu.
Biarkan kami langsung diurus sama yang di rumah. Selesaikan urusan kalian
terlebih dahulu, baru pulang.”
Saya
menghela nafas dalam-dalam. Telepon seluler itu segera saya letakkan di atas
meja. Saya tiba-tiba menyesal telah bertanya seperti itu.
“Bapak
nggak pengin merepotkan tetangga kiri kanan, mengurus jenazah sambil menunggu
kedatangan kalian. Bapak kok ngga sreg ngeliat jenazah harus nginap hanya
gara-gara nunggu anaknya belum datang.”
“Inggih,
Pak. Insya Allah nanti saya sampaikan ke adik-adik.”
“Yang
ke dua. Tolong nanti sholatkan bapak di mushola depan rumah. Biarlah bapak jadi
contoh buat tetangga, bahwa seyogyanya menyolatkan jenazah itu ya di masjid
atau mushola.”
Tiba-tiba
telepon seluler saya menampilkan pesan baru. Rupanya ibu pengin bergabung
bersama kami. Saya segera menjemput ibu di kamar seberang.
Setibanya
di kamar kami, ibu duduk di ranjang saya.
“Katanya
ada yang ninggal, Le?”
“Inggih, Bu. Rombongan bus dua.”
“Gek
piye urusane? Dikubur dimana?”
“Biasanya
sih dikubur di sini, Bu. Bisa sih dibawa pulang ke Indonesia, tapi urusannya
panjang.”
“Yuuuh,
kasihan anak-anaknya ya. Kalau mereka mau nyekar
terus gimana?”
“Ngirim
doa buat arwah itu bisa dari mana saja, Bu. Dari Indonesia juga nyampe ke Gusti
Allah, kok,” ujar Bapak menyela obrolan kami.
“Gini,
Bu. Barusan Bapak pesen bahwa jika suatu saat nanti Bapak atau Ibu dipanggil
Allah, jenazahnya nggak usah nunggu kami. Nurut Ibu, gimana?”
“Aku
yo setuju kok, Le. Mesakne, orang udah mati kok sampai nginap. Medeni.....”
“Nah,
sekarang saya mau nanya, Pak, Bu. Jika nanti Bapak Ibu meninggal pas hari
Selasa Kliwon, kuburannya minta ditungguin, nggak?”
Bapak
yang pertama kali menjawab, “Bapak nggak minta ditungguin, Le. Kasihan jadi
merepotkan tetangga harus nungguin siang malam di kuburan selama 40 hari.”
“Lah,
kalau aku ya minta ditungguin, Le. Bukan apa-apa. Adat di desa kita kan seperti
itu, setiap yang mati hari Selasa Kliwon katanya mayatnya diambil sama orang
jahat. Bagian tubuhnya dipakai untuk jimat. Sebetulnya Ibu nggak percaya sama
semua itu, tapi ini adat, Le. Nanti kita diomongin orang nggak punya adat.
Lagian kamu apa nggak malu jadi omongan orang nantinya. Tuh, anaknya pak
Santoso gagah-gagah, masak orang tuanya mati hari Selasa Kliwon kuburannya
nggak ditungguin, emang nggak punya duit, apa?”
Begitulah
Ibu jika sudah bersabda. Pertimbangannya bukan hal rasional lagi, tapi lebih ke
emosional.
Saya
terdiam. Sampai sekarang saya memang masih mengalami perang batin untuk satu
hal ini. Di satu sisi saya tidak terlalu percaya dengan hal-hal semacam itu. Namun
di sisi lain saya juga tidak bisa begitu saja mengabaikan kenyataan yang ada.
Kakak
sepupu saya, Kang Giyo, pernah berkata, “Kamu rela anggota badan orang tuamu
dicuri orang?”
Saya
terdiam ketika itu. Menurut cerita yang beredar di daerah saya, konon jenazah
orang yang meninggal pada hari Selasa Kliwon memang ampuh dijadikan jimat. Sudah
banyak dijumpai kuburan yang berlubang karena tidak ditunggui selama 40 hari 40
malam.
“Nggih, Bu. Untuk satu hal ini saya belum
bisa ngambil keputusan. Semoga Bapak Ibu nanti dipanggilnya nggak pas hari
itu..hahaha...”
Sembari
menyajikan cemilan kurma dan menuangkan air Zamzam yang saya bawa dari Mekkah,
saya ngunandiko, bahkan Tanah Suci ini belum mampu membuat saya lepas dari
pengaruh takhayul di desa kami.
Bandung,
17 Juli 2014
######Bersambung######
1 comment:
apik mas.
bosone penak, njowo banget.
Post a Comment