Suasana sebuah sore di jalanan belakang Zamzam Tower |
Cerita bagian I ada di sini
Cerita bagian II ada di sini
Cerita bagian ke III ada di sini
Ini adalah malam kedua saya di kota Mekkah. Suhu udara terasa masih terasa hangat meski waktu telah menunjukkan pukul 21.00 waktu setempat. Seusai sholat Isya dan makan malam di foodcourt, saya pamit ke bapak untuk pergi ke ATM terdekat. Sebuah urusan keuangan mengharuskan saya mentransfer sejumlah uang secepatnya.
Dengan hanya mengenakan kaos
oblong dan celana pendek di bawah lutut, saya turun ke lantai dasar tower
Zamzam. Setelah bertanya kepada petugas keamanan, langkah kaki saya arahkan ke
bagian belakang tower ini. Bagian belakang tower ini berupa seutas jalan yang
amat ramai oleh pejalan kaki. Jalanan tak pernah lelap selama 24 jam, penuh
oleh aktifitas jamaah. Maklum, jalan ini adalah akses utama ke Masjidil Haram
dari arah manapun. Aktifitas tersebut beragam, mulai dari hilir mudik jamaah
dari dan ke Masjidil Haram, belanja makanan dan oleh-oleh di toko-toko, hingga
sekedar duduk-duduk santai.
Di lantai dasar berdiam
puluhan jamaah asal Timur Tengah yang
menginap beralaskan selembar tikar. Mereka adalah jamaah musafir yang, meminjam
istilah Indonesia, bonek alias modal niat tulus tanpa dukungan keuangan
memadai. Mereka berangkat berombongan bahkan ada yang mengajak anak-anak yang
masih kecil. Pemandangan ini berkesan kumuh dan jorok. Sampah berserak
dimana-mana. Penerangan juga agak minim di sini.
Dengan langkah takut-takut,
saya melewati kerumunan jamaah musafir ini. Tepat di dinding lantai dasar tower
ini tertempel neon box berukuran besar dan menyolok milik bank Mandiri. Bank
plat merah ini menawarkan fasilitas pelayanan nasabahnya selama di Tanah Suci.
Dengan bahasa Tarzan saya bertanya ke petugas keamanan tentang letak ATM bank
Mandiri tersebut sambil menunjuk-nunjuk neon box itu. Petugas itu menyuruh saya
ke lantai 2 tower ini. Di sanalah katanya letak mesin uang tersebut.
Saya kembali naik ke lantai
dua. Di sebuah sudut yang agak tersembunyi dekat dengan eskalator berjejer tiga
mesin ATM. Tak ada ATM bank Mandiri di sana. Yang adalah ATM bank setempat. Saya
bingung.
“Mau narik uang, Mas?”
Seorang pemuda tanggung
tiba-tiba menyapa saya. Saya tak menduga sama sekali mendapat sapaan itu. Rupanya
tampang tak bisa ditipu.
“Enggak, Mas. Saya mau
transfer uang ke Indonesia. Bisa pakai ATM ini?”
“Wah, nggak bisa, Mas. Harus
ke kantor bank-nya. Kecuali masnya punyak rekening bank sini.”
Kekecewaan melanda. Adalah tak mungkin untuk mendatangi bank tersebut karena jadwal ibadah yang demikian padat. Setelah berucap terima kasih, saya pamit ke pemuda tanggung yang ternyata pekerja di bagian konstruksi itu.
Saya tak langsung kembali ke
kamar. Pikiran tegang karena urusan tadi menyulut keinginan untuk nongkrong di
jalanan belakang tower tadi.
Sebatang rokok segera saya
sulut begitu memasiuki jalan itu. Langkah kaki saya tak tentu arah. Saya hanya
berjalan menyusuri trotoar di depan pertokoan yang menjajakan beragam panganan
dan oleh-oleh. Sebuah panggilan menghentikan langkah saya.
“Indonesia? Jokowi?
Syahrini?”
Edan, bolehlah jika hanya
Jokowi yang disebut, saya tak akan terlalu kaget. Tapi begitu nama Syahrini
ikut disebut, saya kaget campur heran akan ketenaran artis yang satu ini. Saya menoleh
ke arah sumber suara itu. Seorang pemuda berperawakan kekar tersenyum sembari
melebarkan kedua tangannya.
“Indonesia? Belanja boleh,
ngobrol boleh. Mari.. mari..”
“Tahu dimana ATM Mandiri,
like this?” jawab saya sembari mengeluarkan kartu ATM dari dompet.
“Second floor,” jawabnya
sambil menunjuk lantai yang baru saja saya datangi.
“No, there is no ATM like
this. I came to there and didn’t find the ATM for this bank.”
“Oh... saya tidak tahu.”
Baiklah.. ini mungkin bukan
malam saya. Saya merasa lelah. Tiang lampu penerangan jalan di depan toko pria
itu segera saya jadikan tempat bersandar.
“Where are you from?”
“Burma. 12 tahun sudah di
sini. Di mana Indonesianya? Kawan saya istrinya orang Karawang,” katanya sambil
mennjuk pria lain yang sedang melayani pembeli di toko itu.
“Are you sure? Karawang?”
saya tergelak.
“Yes, he says that wife so
beautiful.”
“And your own wife?”
“Burma. Saya tak suka
perempuan lain (negara).”
“Why? Your friend did it.”
“Aha.. he cant find the
local girl, so he married your girl.”
Kurang ajar juga si Burma
ini. Masak gadis Indonesia dilecehkan begitu setelah dia tadi nyebut-nyebut si
bahenol Syahrini.
Tiba-tiba saya teringat
dengan stok rokok saya yang sudah menipis. Saya hanya membawa 5 pack rokok
Sampoerna Mild dari Indonesia.
“Where can I buy it?”
“Oh.. Indonesian cigarettes?
You can go to outside market. Ten miles from here.”
Alamak.... jauh amat. Saat
itu saya lupa bahwa rokok sebenarnya haram hukumnya di Tanah Suci. Yang
mengherankan, meskipun diharamkan, tak sulit mencari perokok di sekitar
Masjidil Haram sekalipun. Bahkan tadi sore saya menemui pria Arab tulen dengan
acuhnya merokok di dalam mal Zamzam yang jelas-jelas berpendingin udara. Di
Indonesia yang terkenal dengan kebandelan perokoknya saja, rasanya sudah tak
mungkin menemui orang merokok di dalam mal.
“Assalamualaikum wr wb........................”
Seorang pria paruh baya
tinggi besar berjubah menghampiri saya. Di tangannya tertenteng kantong
plastik. Hanya salam itu yang bisa saya dengar, kalimat selanjutnya tak bisa
saya artikan karena diucapkan dalam bahasa Arab.
“Wa alaikum salam wr wb. Yes,
anything I can do for you?”
Dia nerocos tetap dalam
bahasa Arab sambil menunjuk-nunjuk rokok saya. Dengan senang hati saya sodorkan
bungkus rokok kepadanya. Di dalamnya masih tersisa beberapa batang. Pria itu
menggelengkan kepalanya. Lalu dia melakukan gerakan seolah membuang rokok di
jalan lalu menginjaknya dengan telapak kaki. Saya menoleh ke pemuda Burma tadi.
“He told you to shut down
your cigarettes, Teman.”
Saya terperangah. Semula saya
mengira dia minta rokok kepada saya. Dengan takut-takut saya segera membuang
rokok yang sedang saya hisap ke hadapannya. Saya sudah membayangkan bakal
dipenjara oleh pemerintah setempat gara-gara merokok di Tanah Suci. Dengan sigap
dia segera menginjak rokok tersebut sembari tetap berkata-kata dalam bahasa
ibunya. Saya kembali menoleh ke si Burma.
“Dia memberi nasehat
kepadamu, Teman. Kamu ke sini kan mau ibadah, bukan melancong. Daripada nongkrong
di sini mending tidur atau pergi ke masjid.”
Mendengar terjemahan si
Burma saya tertunduk malu. Pria tinggi besar itu lantas mohon diri sembari
mencium kening jidat saya dengan hangat. Wajahnya amat teduh dan jernih. Dia
segera hilang ditelan lautan manusia yang sedang menyemut ke arah Masjidil
Haram.
“Who is he?”
“Dia orang asli Mekkah.
Salah tiap jam 10 malam pasti lewat sini. Dia salah satu Imam Masjidil Haram.”
Saya terbelalak. Urusan rokok
ini ternyata membawa keberuntungan buat saya, merasakan kecupan seorang Imam
Masjidil Haram.
Bandung, 28 November 2014.
1 comment:
Prediksi Angka Togel SGP Akurat
Post a Comment